Sep 30, 2010

Pendidikan yang Kebas



Fadly Rahman

All in all it's just another brick in the wall.
All in all you're just another brick in the wall.

(Another Brick in the Wall, Pink Floyd)

I can't explain you would not understand
this is not how I am.
I have become comfortably numb.

(Comfortably Numb, Pink Floyd)

Setiap tahun penerimaan peserta didik baru digelar di berbagai sekolah hingga pendidikan tinggi. Calon peserta didik bergelombang masuk ke sekolah pilihannya. Di dunia barunya, mereka telah dinanti para kakak seniornya yang telah lama menyiapkan agenda “orientasi pengenalan kampus”. Bagaimanapun sebutan itu lebih dipakai sebagai sebentuk eufemisme menyamarkan prosesi penerimaan pendatang baru untuk diinisiasi secara resmi melalui wajah-wajah berlagak suram, ketus, bahkan keras hanya untuk bisa masuk menjadi bagian “keluarga” barunya. Peserta didik yang tidak mengikuti inisiasi, hanya akan disisihkan dari “keluarganya”, bahkan oleh rekan-rekan seangkatannya sekalipun. Mereka yang tidak turut dalam inisiasi dianggap tidak ambil bagian dalam “keluarga barunya”. Tampak, jejaring kroni dalam unit kecil (baca: sekolah) terlembaga; dan kelak membuat individu tidak merdeka –tanpa disadarinya– namun merasa aman, nyaman untuk bergantung dan mengelompok dalam “keluarganya”.

Melihat pemandangan inisiasi annual ini saya selalu terngiang dengan lantunan lirik lawas lagu Pink Floyd sebagaimana avant propos di atas. Bukan cuma lirik, namun juga mengingat gambaran suram dalam klip videonya. Dalam Another Brick in the Wall itu, ruang pendidikan dialegorikan sebagai “tembok kekuasaan” yang ditempati peserta didik, sedari mereka masuk hingga tamat studi. Suatu kondisi yang membuat mereka tidak mampu bersuara (baca: berpendapat) secara individu; biasanya kelantangan bersuara –yang menggerumut– baru ke luar ketika mengelompok. Fragmen video juga menampilkan wajah pendidikan seolah “pabrik” pencetak barang-barang produksi. Sebagian besar dari peserta didik masuk hingga tamat sekolah dalam keseragaman pandangan dan tujuan: untuk apa menjalani –bukan menghayati– pendidikan?

Dalam lirik sarkasmenya, video itu menampilkan seorang guru galak berteriak pada murid-muridnya: “If you don't eat yer meat, you can't have any pudding. How can you have any pudding if you don't eat yer meat?.” Kata-kata “eat”, “meat”, dan “pudding” merupakan aksentuasi Roger Waters dkk yang bersatir pada realitas “pendidikan” sebagai “makanan” yang harus “dimakan” murid untuk kelak bisa mendapatkan “kue” semisal status sosial, okupasi, atau ekonomi. Murid-murid menerima saja; dan bukanlah pada tempatnya mengkritik atau protes atas segala bentuk keganjilan pendidikan yang mendidik mereka. Ditambah, kekritisan itu sendiri sudah dimati(rasa)kan.

Bagaimana bisa persepsi banal begini atas pendidikan bisa tumbuh? Bagaimana akarnya bisa merambat dalam dunia pendidikan?

Mestilah disadari, ranah pendidikan seringkali dibingkai oleh rupa-rupa “kekerasan”, salah satunya didapati dalam tradisi ospek, berupa perlakuan senior terhadap juniornya; entah itu pedandanan atribut konyol, bentakan, caci maki, hingga kontak fisik. Meski acapkali jatuh korban jiwa, celakanya tradisi ini masih tetap lestari; dan sekalipun terjadi insiden, dengan beralaskan citra “keluarganya” (baca: lembaga), noda kekerasan pun ditutup-tutupi.

Kekerasan seolah dikondisikan untuk “dinikmati”, hingga akhirnya diwariskan secara generatif menjadi seakan “mati rasa”. Dan kekebasan ini sebenarnya adalah wajah feodal dunia pendidikan kita yang bibitnya tumbuh sejak peserta didik menjalani proses perpeloncoan. Tanpa disadari, tradisi ini berkembang tumbuh, hatta menubuhkan mental-mental feodal gaya baru berupa hubungan patron-client dalam ruang-ruang pendidikan, bahkan mentalnya memagut dan berpengaruh hingga ke luar ruang itu.

Benarkah neo-feodalisme itu ada? Jika iya, bagaimana bisa semua ini terjadi jalin-menjalin? Jelas, sekalipun berbalut pendidikan berwajah modern, jika meminjam telaah Saya Sasaki Shiraishi dalam bukunya Pahlawan-Pahlawan Belia; Keluarga Indonesia dalam Politik (2001), mentalitas neo-feodal ini merupa hubungan “bapak-anak” yang menggejala di Indonesia pascakolonial. Potret korupsi, kolusi, nepotisme, dan kroni gaya Orde Baru dibongkarnya untuk menampilkan buah dari hubungan “si bapak” yang “mengayomi” dan “si anak” yang “diayominya.” Sasaki sangat bagus mengungkapkan biang keladi semua itu beraras pada gaya kroni Orde Baru yang jelas-jelas dan gamblang diakui Soeharto bahwa kekuasaannya mengadopsi konsep Tut Wuri Handayani, Ing Madya Mangun Karsa, Ing Ngarsa Sung Tuladha-nya Taman Siswa gagasan Soewardi Soeryaningrat. Soewardi atau dikenal Ki Hajar Dewantara adalah bapak/penggagas pendidikan nasional yang mengenalkan konsep “kekeluargaan” dalam lembaga pendidikan Taman Siswa-nya.

Hubungan “keluarga” tanpa landasan pertalian darah ini secara politis dipakai (baca: dimanfaatkan) dalam kroni Orde Baru untuk “mengayomi”, “membangun”, dan “memberi teladan” anak-anak buahnya. Dalam riwayat politik Orde Baru, “anak” yang bersimpang jalan dengan si “bapak” disisihkan, diasingkan, dibungkam, hingga dibuang. Dan nyata, prinsip ini juga berlaku dan membaku tanpa disadari dalam mental –sebagian ciri– lingkungan pendidikan sebagaimana jejaringnya diungkap secara sistematis oleh Sasaki. Buku Sasaki ini juga patut menjadi cermin untuk menelaah tradisi ospek yang meski disadari “feodal”, tapi mengapa selalu dikondisikan ada dan begitu sulit dihapuskan? Barangkali sama jawabnya dengan lirik lagu Pink Floyd lainnya, Comfortably Numb, bahwa mereka yang terlibat di dalamnya sendiri seolah tidak dapat menjelaskannya; pun mereka sendiri sulit mengerti mengapa dirinya bermental begitu? Mereka sudah menjadi “mati rasa” dalam “kenyamanan” kuasa dan kekerasan dunia pendidikan.

Kekebasanlah yang telah membuat nyaman kekuasaan dan kekerasan. Dan tanpa sadar itu memenjara kebebasan intelektual peserta didik, sebagaimana dalam Summerhill (1968), pedagog A.S. Neill mengatakan bahwa “memaksakan apa pun dengan kekuasaan adalah salah. Seorang anak seharusnya tidak melakukan apa pun sampai ia mampu berpendapat dengan pendapatnya sendiri, bahwa itulah yang harus dilakukan.” Yang diperlukan hanya “kebebasan”, bukan justru merawat “kekebasan” intelektual.

Jun 25, 2010

Mengenang "Surganya Jawa"




MENGENANG "SURGANYA JAWA"

Rabu, 23 Juni 2010 | 17:36 WIB

Oleh FADLY RAHMAN

Kesan sebuah desa, dusun, atau kampung yang-sebagaimana fenomena masa kini-ingin "di-kota-kan" sedianya tidak bisa dilepaskan dari citra silamnya. Kesilaman itu sejatinya menjadi memori dan identitas bagi manusia yang menghuninya sekarang.

Namun, bagaimana jadinya jika citra silam itu kian meredup lalu hilang ditelan berbagai pembangunan, didorong kebutuhan (atau nafsu?) ingin menjadi kota? Hawa itu bisa dirasakan di Jatinangor.

Sebagai bagian dari wilayah Sumedang, Jatinangor lebih dikenal sebagai kawasan pendidikan tinggi. Statusnya sebagai kawasan pendidikan itu pula yang secara langsung memberi rembesan bagi siapa saja yang ingin mencari peruntungan ekonomi. Di Jatinangor bangun-membangun rumah kos, ruko, hingga kios-kios pinggir jalan, mal, bahkan jika tidak ada aral melintang, akan dibangun apartemen, semua didapati di sini. Wajah-wajah pembangunan itu berjejal di antara persawahan yang masih bertahan dan sudah dipatoki papan bertuliskan: dijual!

Barangkali banyak orang awam yang belum dan akan datang bahkan bermukim lama di Jatinangor bertanya-tanya soal perkembangan status wilayah ini. Apa lebih tepatnya menyebut status Jatinangor? Tidak tepat untuk menyebutnya-menjadi-kota jika hanya menimbang pembangunan semacam sarana perbelanjaan modern yang sudah beberapa tahun belakangan seakan menjadi kebanggaan masyarakat pribumi.

Kota, dalam peradaban manusia, adalah puncak-puncak kebudayaan, yang mana manusia penghuninya (baca: utamanya pribumi) sadar memajukan wilayahnya sendiri. Adapun gegap gempita pembangunan di Jatinangor lebih diusahakan orang-orang luar yang mencari peruntungan ekonomi.

Maka, melihat wajah kekinian Jatinangor sungguh mengubur citra silamnya sebagai desa dengan perkebunan, persawahan, dan gunung yang-semestinya-asri dipandang. Ditambah memori silamnya yang terekam melalui menara loji dan jembatan eks jalur kereta api sebagai ikonnya.

Saksi bisu

Kedua situs kolonial itu kini hanya jadi saksi bisu yang sedianya merekam kisah Baron Baud, pengusaha perkebunan Cultuur Ondernemingen van Maatschappij Baud di kawasan Jatinangor pada akhir paruh pertama abad ke-19. Di Priangan sosok Baron Baud tidaklah seterkenal KF Holle yang dikenal mengakrabi lingkungan budaya pribumi meski keduanya hidup sezaman.

Selain sebagai pengusaha perkebunan, Baud bolehlah dikenal sebagai pencinta flora. Nama putrinya saja bahkan diambil dari sebuah nama flora merambat, sensitif jika tersentuh, dan hanya tumbuh di iklim tropis Asia Tenggara dan Amerika: mimosa (lebih dikenal dengan sebutan "putri malu"). Bahkan, nama Jatinangor sendiri, sebagaimana disinggung dalam sebuah tulisan T Bachtiar, adalah genus flora dari benua Amerika yang kemudian diberi nama lokal: Jatinangor. Seperti dibayangkan Bachtiar, tumbuhan berwarna merah itu konon pada masa hidupnya Baud pernah begitu asri mewarnai kawasan perkebunan teh miliknya.

Imajinasi Bachtiar tidak ada salahnya jika membaca kembali kondisi silam Jatinangor sebagai daerah perkebunan yang menyatu dengan bagian dalam atribut silam Sumedang sebagai "surga dari tanah Jawa". Julukan ini begitu mengemuka seiring pengukuhan Sumedang sebagai "Puseur Budaya Sunda." Julukan yang tampaknya begitu ngabubungah elemen masyarakatnya.

Tentu saja sebutan cantik itu tidak dicipta seketika, tetapi diambil dari sebuah buku fotografi cetakan awal abad ke-20 bertajuk Het Paradijs van Java susunan Wijnand Kerkhoff. Di bawah tajuk utama ada transliterasi ke dalam berbagai bahasa: "Sorga dari Djawa", "Das Paradis von Java", "The Paradise of Java", "Le Paradis de Java", "El Paraiso de Java", dan "Il Paradiso di Giava". Setiap foto memiliki caption bernarasi bahasa Belanda dan Melayu.

Dalam sebuah bagiannya, ada sebuah foto kereta api melintas di Jembatan "Tjikoeda" Jatinango-yang saat itu masih menghubungkan jalur Tanjungsari ke Rancaekek-dengan latar pegunungan dan hamparan persawahan. Jika dibandingkan dengan kondisi sekarang, tentu saja pemandangan tempo doeloe nan cantik ke arah jembatan cincin-begitu sebutannya sekarang-itu belum terkotori selipan warna-warni bangunan kos-kosan. Sungguh waas membayangkan pemandangan pada masa itu.

Pantas saja Johan Koning yang memberikan kata pengantar buku fotografi Kerkhoff itu menyebut Sumedang, termasuk di dalamnya Jatinangor, sebagai "Italy of the East". Tapi, jauh sebelum itu ternyata sebutan cantik itu sudah didapati dalam sebuah catatan perjalanan seorang Inggris bernama Charles Walter Kinloch pada 1852. Dalam buku itinerario-nya di Pulau Jawa bertajuk Rambles in Java and the Straits in 1852, pada 1 Juli 1852 Kinloch mencatat turnoinya dari Bandung ke Sumedang.

Betapa ia terpana dengan keelokan alam Sumedang yang mengingatkannya pada kalimat sebuah puisi bertajuk Naples (sebuah kota di Italia). Salah satu bait puisi berbahasa Italia itu dikutipnya untuk mengiaskan keelokan Sumedang sebagai un pezzo di cicelo caduto in terra (hal 71); ya, "sepotong surga yang jatuh ke bumi". Hingga awal abad ke-20 citra "surga yang jatuh ke bumi Sumedang" itu masih bertahan, terbukti dari julukan yang disematkan Koning. Proyek kolonialisme?

Jelas, pada masa awal abad ke-20, penggambaran eksotika alam ini sebentuk proyek kolonialisme yang terbilang serius, salah satunya untuk kepentingan sektor turisme di tanah jajahannya, sebagaimana kolonialisme membangun citra Bandung sebagai Parijs van Java atau Garut sebagai Swiss van Java.

Boleh jadi kini, daerah lain yang tidak memiliki julukan sejenis merasa cemburu dengan sebutan cantik semacam itu yang tidak dimilikinya. Jikalah benar ada kecemburuan begini, hendaknya ditelaah kembali siapa penyemat atribut itu. Bukan orang pribumi yang menjulukinya, melainkan "berterimakasihlah" kepada orang-orang Eropa seperti Baud yang hidup pada masa kolonial itu.

Selain mungkin berjasa atas toponimi Jatinangor, mungkin Baud juga punya makna tersendiri memberi nama putrinya, Mimosa. Flora pemalu itu tampaknya menjadi penanda betapa malunya Baud mengotori "surga" yang pernah mereka huni.

Namun, tentu saja semua itu hanya citra silam Jatinangor ketika belum dirasakan adanya kegersangan dan kerawanan akan banjir, sebagaimana pernah dimaklumi seorang menteri yang beberapa bulan lalu menghibahkan sejumlah perahu karet. Seandainya Baud, Kinloch, Kerkhoff, dan Koning melihat kondisi sekarang, entah sebutan macam apa yang akan mereka berikan.

FADLY RAHMAN Pengajar di Jurusan Ilmu Sejarah Unpad, Tinggal di Jatinangor

May 30, 2010

Rijsttafel: The History of Indonesian Foodways


RIJSTTAFEL was the word coined by the Dutch in the Netherlands Indië to denote a substantial meal of rice accompanied by many other cooked dishes. The word probably came into general use after the opening of the Suez Canal in 1869, which greatly reduced the sailing time between Holland and the Indies and allowed large numbers of Dutch colonials to be accompanied by their wives and children. Hitherto, single men had been accustomed to engage the services of young Indonesian women, who kept house and cooked for them, and often became their mistresses. These nyai, as they were known, naturally cooked the food they were familiar with, and the Dutchmen quickly grew to appreciate it. This process of acculturation continued when Dutch women arrived, bringing to the colonies European eating habits, cooking techniques, and ways of serving food. This was how the rijsttafel became popular in the Dutch community, and before long was ‘exported’ to the Netherlands as tourism in the Indies developed in the decades after 1870. T.J. Bezemer (1921) relates his experience as a passenger on the S.S. Rotterdam Ship from Holland to Batavia: at lunch or dinner, thirty or forty stewards were lined up in the dining saloon, the first bearing a silver platter laden with white rice, the others with dishes of meat, fish, vegetables, and sauces. When the passengers had chosen and eaten as much as they wanted, Dutch beefsteak was served, without which the Europeans would not have considered the meal complete. The most celebrated rijsttafel in the Indies was served for Sunday luncheon at the Hotel des Indes in Batavia and the Hotel Homann in Bandung, where the rice was accompanied by sixty different dishes.


Most of these dishes were Javanese. But they were served Dutch-style, each on a separate plate, instead of being placed on a large side-table for guests to help themselves. This was true even of acar (pickles), sambal (hot chili condiments), and krupuk (shrimp or fish crackers), which Javanese people would not regard as ‘dishes’ at all. The usual drink in rijsttafel was beer - sometimes a good deal of beer. This weekly ritual perhaps gave hard-pressed plantation managers and their wives a chance to relax and meet friends; but it was also a statement of Dutch authority, underlined by the adoption of indigenous foods, adaptation of selected local dishes, and the mock-formality of white-suited, barefoot waiters (called jongos, from the Dutch word jongen, ‘young men’). It all made a favourable impression on western tourists who came in large numbers to Nederland Indië in the 1920s and 30s. It has had one positive result: a more general recognition of Javanese food, and Indonesian food generally, as an authentic haute cuisine. As served in many Indonesian restaurants in western countries today, and in tourist locations in Indonesia itself, the rijsttafel is less successful because too many dishes are laid before the bewildered guest and too many of them taste the same, having been kept hot for hours so that everything is stewed. But a good rijsttafel, sensibly approached, can be a very satisfying gastronomic experience.

(This article is an abridged version of my thesis at University of Padjadjaran entitled Rijsttafel; the Development of Foodways in Java [1870 - 1942])

Picture Source: http://www.engelfriet.net/Alie/Hans/desindes.htm

May 28, 2010

Molly Bondan: In Love with a Nation, Penuturan dalam Kata-Katanya Sendiri.

Judul: Molly Bondan: In Love with a Nation, Penuturan dalam Kata-Katanya Sendiri.
Penulis: Molly Bondan
Editor: Joan Hardjono-Charles Warner
Penterjemah: Sapardi Djoko Damono
Penerbit: Obor
Cetakan: I, 2008
Halaman: xviii+298 hal.


Pasang surut hubungan Indonesia – Australia adalah bagian tidak terpisahkan dari faktor historis dan isu-isu politik kedua Negara. Dan fragmen penting yang sedianya disadari dapat menyadarkan hubungan keduanya hidup pada sosok: Molly Bondan.


Buku otobiografi Molly Bondan ini adalah keping dari sejarah hubungan Indonesia; selain tentunya dengan Molly pribadi, juga Australia–sebagai tanah kelahirannya itu. Siapakah Molly? Terlahir pada 1912 dengan nama Molly Warner, proses persentuhannya dengan Indonesia dimulai dari ketidaktahuan dan ketidaksengajaannya masuk dalam poros revolusi kemerdekaan Indonesia. Perkenalannya dengan para aktivitis politik antikolonial Indonesia di Australia yang tergabung dalam Central Komite Kemerdekaan Indonesia (CENKIM)-lah yang mengantarkan Molly menyelami isu-isu politik seputar rekolonialisasi Belanda di Indonesia; terlebih pernikahannya dengan Mohamad Bondan, eks-Digulis dan eksponen CENKIM.


Kisah cintanya dengan Bondan sendiri tidak diungkap Molly berlebih. Tapi itu dirasakan hidup dalam kelindan idealismenya bersanding dengan Bondan yang –atas kesadarannya sendiri– membawanya ke Indonesia pada 12 November 1947 dan berjuang mempertahankan kemerdekaan republik ini.


Bukan hanya menekankan pada aktivitas politik, namun hal menarik dari fragmen hidup Molly adalah pandangan dan sikap kritisnya terhadap dinamika wajah kehidupan sosial budaya Indonesia. Misalnya saja pandangannya seputar kehidupan beragama di Indonesia yang dinilainya hanya hidup pada sendi-sendi formalitas saja; hanya tampilan luar tanpa disertai pemaknaan mendalam pada hakikat universalitas agama dan nilai-nilai ketuhanan yang dikandung dalam agama itu sendiri.


Penilaian Molly ini tidak bisa lepas dari filosofi ajaran teosofi yang sejak kecil dikenal dan diresapinya (hal. 8 – 10). Maka itu, dalam kritiknya atas penerapan Sila ke-1 Pancasila yang dimaknai masyarakat secara banal, tidak lebih sekedar “harus pergi ke gereja atau mesjid”, dan ujarnya “aku tidak percaya bahwa maknanya seperti itu. Arti yang benar adalah kesadaran yang terus-menerus tentang keberadaan Tuhan, selalu mengingat Yang Maha Esa dalam setiap kegiatan…” Pemaknaannya atas Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai “Believe in God” itu, mewakili pandangannya atas Pancasila sebagai ideologi politik yang ideal; dan seperti dikatakannya “selama Indonesia menetapkan bahwa pasal-pasal itu adalah tujuannya, aku akan mendukung Indonesia apapun yang terjadi.” (hal. 184 – 187). Namun di matanya, pemaknaan dan penerapan Pancasila hanya tampak dalam kemasan luar, formalitas yang dangkal.


Kegagalan memaknai pancasila –yang diharapkan sebagai pembentuk mentalitas masyarakat Indonesia– menurutnya malah hanya menghasilkan deviasi moral. Penyimpangan itu, sebagai contoh, tampak dari kegagalan peristiwa kudeta tahun 1965 yang ia nilai sebagai masalah mengerikan dan membebani, belum lagi kegilaan arus ‘modernisasi’ yang melanda masyarakat Indonesia (hal. 182). Penerapan ‘demokrasi’ adalah salah satu fenomena ‘modernisasi’ pascagagalnya kudeta tahun 1965 yang menjadi masalah nyata dan –hingga kini masih– menggejala lewat aktualisasi penekanan fungsi-fungsi partai politik sebagai komunikasi antara pemerintah dengan rakyat. Padahal baginya, jelas, organisasi politik di negara ini tidak berfungsi sama sekali dalam membentuk ideologi; sebab yang diikuti hanyalah satu ideologi: Pancasila.


Pandangannya terhadap Pancasila sebagai sebuah ideologi juga dikaitkan dengan keeratannya bekerja dalam pemerintahan Soekarno hingga Orde Baru. Salah satu peran yang dilakoninya adalah penerjemah pidato-pidato Presiden Soekarno.


Pidato Presiden Soekarno di muka Sidang Umum PBB bertajuk New Emerging Forces dan To Build the World Anew tidak lepas dari peran Molly sebagai penerjemah naskah pidato tersebut. Terdapat perannya di balik muatan naskah pidato yang penuh gebu spirit nasionalisme itu; tapi yang utama, secara kejiwaan ia telah melepas mentalitas serta geneologinya sebagai seorang ‘Barat’ di tengah konstelasi konflik ideologi politik kapitalisme liberal dan komunisme imbas Perang Dingin –yang saat itu terkutubkan dalam Blok Barat dan Timur. Tentu, ini bukan soal loyalitas Molly berpihak pada Indonesia atau berkiblat pada salah satu kumparan ideologi; tapi idealismenya memandang superiotas Barat dengan gaya neoimperialismenya yang membuat ia memposisikan diri demikian.


Molly seakan coba mendekonstruksi kecupetan konstruksi dikotomik Barat dan Timur. Jaras itulah yang selama ini masih saja mengekang mentalitas orang Indonesia memandang Australia sebagai Barat yang kuasa; dan segelintir orang Australia yang memandang Indonesia sebagai Timur yang rendah. Tapi, Molly lewat pengalaman dan pandangan hidupnya meluruhkan itu semua.


Otobiografi yang disusunnya ini menuangkan pandangannya sejak awal persentuhannya dengan Indonesia, pernikahan dengan Mohamad Bondan, pengalamannya pada masa Orde Lama hingga Orde Baru pada dasawarsa 1980-an, hingga masa menjelang tutup usianya pada 1990. Lewat enam belas pembabakan perjalanan hidupnya, ditambah suplemen renungan dan lampiran seputar ajaran teosofi yang diresapinya hingga menyoal asosiasi Indonesia – Australia; setidaknya buku ini menjadi salah satu refleksi sejarah seputar wacana nasionalisme Indonesia dilihat dari perspektif Molly. Dan dalam skala luas sebagai penyadar pasang-surut hubungan Indonesia – Australia.
Seperti dikatakan John Legge dalam pembuka kata buku ini (hal. xi), Molly memang cukup berhati-hati dalam membuat pernyataan tegas seputar peran dirinya dalam menyusun otobiografinya ini. Itulah kenapa buku ini mampu mendudukkan perspektif Molly secara khusus dan kondisi umum politik Indonesia terkait pasang surut hubungan dengan Australia selama ini.


Membaca sosok Molly seakan dua sisi sekeping mata uang: ia yang terlahir sebagai seorang Australia namun menjadi seorang nasionalis, republiken yang menumpahkan hidupnya membela kemerdekaan Indonesia. Tapi, apalah arti ia yang muasalnya seorang dari Negeri Kanguru atau si filantropis pada Indonesia ini? Toh benar seperti dibilang Ben Anderson: nation adalah imagined community yang hakikatnya kita semua adalah “anak semua bangsa”–mengutip salah satu judul tetralogi Pramoedya Ananta Toer. Dan sosok Molly hidup dalam jaras itu!

Aura Seni (dan) Jeihan: Perspektif Tamaddun




oleh: Fadly Rahman

Albert Einstein berkata: “matter is energy, energy is light, we are all light beings.” Bagaimana bisa ‘cahaya’ manusia dirumuskan melalui E=mc2, rumusan terkenal sang fisikawan itu? Entah. Einstein tentu punya rumusannya sendiri, seperti halnya setiap manusia menyukai tafsir-tafsir sebagai rumusan hidupnya.

Cahaya manusia yang kasat mata itu lebih dikenal dengan istilah ‘aura’; kata dalam bahasa Yunani au|ra yang berarti “a particular atmosphere or quality that seems to surround a person or thing.” Karena sifat kasat itulah yang membuat Fisslinger pada 1998 membuat Aura Video Station, sebuah mesin pemindai aura tubuh manusia. Merah, oranye, hijau, kuning, biru, indigo adalah sekian warna yang berkelindan di antara tubuh yang menandai keadaan tensi emosi keriangan, amarah, dan kemuraman manusia. Alat itu dicipta, berhubung penglihatan kita dibatasi kemampuannya oleh Tuhan untuk memindai aura. Hanya rasa saja, penginderaan yang kita andalkan untuk –itupun sebatas merasa– membaca kejiwaan manusia. Tapi, kiranya, para pelukis diberi kelebihan oleh Tuhan, baik penginderaan maupun ruhaninya untuk membaca warna cahaya pada tubuh manusia.

Indera dan ruhani itu pula yang tampaknya mengisi raga (seni) Jeihan. Sapuan kuasnya di kanvas mengalihkan obyek seorang gadis berjilbab yang tampak riang, merona merah wajahnya ketika dilukis. Prosesi melukis kurang lebih sekitar sepuluh menit saja. Hasilnya adalah sesosok –seperti biasa– bermata hitam dengan latar merah tua menyala. Sebagai seorang penikmat/pemandang seni rupa yang agak awam ini, entah apa yang membuat kuduk ini bergetar melihat hasil sapuan akhir kuas Jeihan itu. Mata hitam adalah aksentuasinya, dan ruang putih dalam kanvas menyiratkan harmonisasi dan kekuatan filosofi tersendiri yang menjadi sebab terjadinya vibrasi dalam jiwa tatkala memandangnya. Mungkinkah ini penyampaian kekuatan aura seninya yang membuat harga lukisan-lukisan Jeihan melambung mahal, ratusan juta rupiah. Hanya pencinta/penikmat/barangkali pasar saja yang mampu memaknainya –atau kolektor yang memiliki dan memajangnya sebagai prestise.

Tapi, tentu saja, di balik mata hitam dalam lukisannya itu, warna merah tua menyala yang menjadi latarnya mengandung enigma. Apakah itu sejenis pembacaan Jeihan terhadap aura si gadis yang riang gembira? Entah. Yang pasti si gadis memang sumringah, sampai-sampai mencium punggung tangan Jeihan sebagai kesuka-citaannya. Tapi, hanya Jeihan saja yang tahu jawaban di balik setiap karyanya, kita bolehlah menafsir-nafsir. Seorang teman mewartakan hal penting –yang bolehlah dibilang salah satu ide tulisan ini, bahwa Jeihan memilih-milih aura yang disukainya untuk dilukis. Mungkin, itulah mengapa, dalam lukisan lainnya ada juga pancaran murung, putus asa, kontemplatif, bahkan riang kekanakan dengan penekanan mata hitam penuh misteri. Pilihan obyek lukisan Jeihan dengan macam kesan demikian mengingatkan pada kata-kata Raphael (1483 – 1520), “In order to paint a fair one, I should need to see several fair ones, with the proviso that Your Lordship will be with me to select the best. But as there is a shortage both of good judges and of beautiful women, I am making use of some sort of idea which comes into my mind.”

Tuhan, dikatakan Raphael, bersamanya ketika memilih objek yang terbaik untuk dilukisnya. Hasilnya adalah serangkaian potret Madonna (Virgin Mary) atau sebentuk kepala perempuan dengan sorot mata mendelik cantik mengulum senyum amat simpul/sederhana –seperti halnya senyum penuh misteri Monalisa karya Leonardo da Vinci sebagai yang paling tersohor dari sekian karya-karya seni rupa Renaissance itu.

Raphael hidup pada masa awal Renaissance di Eropa. Dan para pelukis semasanya itu terbawa pada alam pikiran yang mencitrakan nilai-nilai religiusitas dengan dominan menampilkan figur perempuan dalam kanvas-kanvas lukisannya seperti –selain Raphael dan da Vinci– Fra Filippo Lippi dengan Madonna and Child, (1455), Tintoretto, The Origin of Milky Way (1575/1580), Jan van Eyck, Madonna and Child (1433), atau Gatochi, Titian, Virgin, and Child (ca. 1500). Kedudukan perempuan dalam karya-karya seni rupa sungguh tidak menonjol saat kesuraman Abad Pertengahan akibat dogmatika gereja yang mengutuknya sebagai sumber dari segala petaka hidup manusia, sebagaimana karya Masaccio: The Expulsion of Adam and Eve. Perempuan dikutuk, sebab dialah mula yang menyebabkan umat manusia diusir dari taman surga ke dunia fana ini. Cahaya Hawa pun gelap di masa Abad Pertengahan; lalu sebagai pengalih Hawa, mulailah gereja mengkultuskan figur Madonna atau Perawan Maria yang memengaruhi juga selera banyak artisan masa itu (Frances & Gies, 1978: 37; Wallbank & Taylor, 1949: 477).

Figur perempuan yang banyak ditampilkan dalam seni rupa masa pertengahan juga mengangkat (kembali) derajat/kehormatannya sebagai arketip purba: perempuan/betina sebagai simbol embrio hayati. Peradaban di berbagai belahan dunia ribuan tahun lampau memuja-memuja Dewi Ibu (Mother Goddess) sebagai simbolisasi kesuburan. Hal itu pada awal Renaissance diwujudkan dalam nafas seni rupa realistik dan romantik yang menghanyutkan manusia terhadap nilai-nilai keimanan Kristiani melalui pengkudusan/pengkultusan karya seni sebagai obyektifikasi Perawan Maria –selain Yesus atau para santo. Para petani bahkan sampai bersimpuh ketika karya artisan diarak di desa-desa. Kondisi itu dijadikan contoh oleh Walter Benjamin dalam tulisannya The Work of Art at the Age of Mechanical Reproduction, bahwa cahaya religiusitas masa itu dalam konteks seni modern adalah –menjadi– post-auratic. Maksud cahaya religiusitas dalam seni pra-modern di sini adalah adanya pembubuhan nimbus (cahaya) dengan sifat-sifat yang mirip manusia, mengandung: aura.

Namun dikatakan Benjamin, auratika itu pada akhirnya gugus juga oleh arus zaman modern ketika karya seni rupa para artisan yang dinilai religius harus terpisahkan dari lingkungan sosio-hitorisnya. Benjamin juga mengatakan, aura merupakan gejala unik sebuah distansi yang dimiliki objek historis atau alamiah. Penjelasan terbaik yang diberikannya diilustrasikan dengan merujuk pada aura yang dimiliki oleh objek alamiah. Dalam bahasa Benjamin: “If, while resting on a summer afternoon, you follow with your eyes a mountain range on the horizon or a branch which casts its shadow over you, you experience the aura of those mountains, of that branch.” (Benjamin, 1982: 224 -225). Itulah aura yang ia maksudkan. Dalam masyarakat industri/kapitalisme kekuatan pancaran aura estetik akan lenyap karena kegiatan reproduksi dimaknai sebagai kegiatan teknis belaka untuk mengejar tujuan ekonomi-modal.

Tidak mengherankan jika ada pelukis yang mengalami masa-masa awal post-auratic ini begitu gegar dengan pandangan sosial (baca: pasar) terhadap karya-karyanya. Kegegaran itu dialami Vincent van Gogh yang menilai pasar (baca juga: uang) akan membuat prospek seni(nya) menjadi gelap. Pada 1890 ia bunuh diri dengan menembak perutnya. Sebelum membunuh diri, ia melukis karya terakhirnya Crows in a Wheatfield. Burung-burung gagak yang berterbangan di ladang gandum adalah simbol emosinya atas kematian seni (gagak sebagai penandanya) yang digilas oleh kapitalisme pasar (gandum sebagai penandanya) dan –akhirnya– ia memilih untuk mati saja.

Awam mungkin menganggap gila van Gogh yang memang berjiwa aneh itu. Tapi, alam berkesenian masa-masa post-auratic yang memunculkan kegoncangan emosional –mungkin segelintir– artisan, bahwa seni tidak bisa diukur dengan uang dengan pasar sebagai katalisatornya. Hanya sayang, van Gogh tidak membaca bahwa zaman saat itu tengah berubah; pandangan manusia akan kadar religiusitas seni pun tidak seperti yang silam. Maka itu, pada awal abad ke-20, selain diiringi munculnya aliran-aliran baru dalam seni rupa sebagai sebentuk respon terhadap aliran klasik, seniman pun beradaptasi dengan kondisi nilai seni yang berjalan dalam jalur pasar. Dan aura akan terus menubuh dalam seni rupa dengan wujud lain, tentunya…

Benjamin mungkin ada benarnya menyebut masa-masa redupnya cahaya sakral dalam seni modern dengan membuka album auratic seni di Eropa masa pertengahan. Tapi, ia luput, bahwa apapun kondisi zamannya, aura tetaplah mengendap dalam segenap seni rupa meski bertumpuk dengan kepentingan pasar sekalipun. Goenawan Mohamad (2005: 432) menimpali “cahaya profan” Benjamin sebenarnya merupakan “kwasi-auratik.” Ditimpali demikian, sebab setiap karya seni itu memiliki wibawa yang tidak bisa dimiliki banyak/sembarang orang, maka itu Goenawan sebut sebagai “harta oligarkik.” Wibawa itu sendiri muncul dan tumbuh dari penyebaran informasi, sosialisasi simbol, dan hegemoni citarasa.

Dus, akhirnya ini soal pemaknaan saja yang menjadi lain. Menyoal pemaknaan ini, Benjamin (dalam Saptawasana & Cahyadi, 2005: 35) menyebut konsep flâneur untuk membaca: diikatnya manusia oleh kondisi yang melayang-layang dalam kerumunan fenomena industrialisasi. Akhirnya, ia maksudkan, tidak ada jati diri/matinya manusia menikmati kesenian.

Tentu saja kupasan jejak kesenian masa pra-modern dan modern ini beralasan untuk membaca aura kesenian Jeihan. Paras-paras wanita dengan tatapan hitam, kosong yang misterius dalam karya Jeihan seakan menarik jika dibenturkan dengan filosofi seni di Eropa Abad Pertengahan yang memuat cahaya religiusitas sebagai esensinya memantulkan kekudusan dan kejelitaan paras Perawan Maria dengan senyum simpul yang meneduhkan siapapun memandang. Mereka memancarkan aura. Dan aura itu seperti dibilang Raphael berasal dari alam pikiran si pelukis.

Tapi, ada warna lain di balik muatan filosofi karya Jeihan. Banyak perempuan yang menjadi obyek lukisannya tampaknya berlandas pada kata-katanya, bahwa “pada akhirnya kita ini akan kembali ke pembelahan diri,tidak perlu seks lagi. Plasma yang berkembang biak melalui pembelahan diri, sebenarnya bersifat perempuan…lelaki itu mengandung keperempuanan. Kehidupan ini dimulai dari ‘perempuan’ yang tanpa seks dapat membelah dirinya dalam regenerasi.” (Sumardjo, t.th.: 12). Ini menandakan perhatian dan penghormatan Jeihan yang lebih terhadap perempuan. Namun, ia bukan bicara soal kesucian seperti halnya figurasi Perawan Maria, pandangan-pandangannya pun ada yang memantulkan sarkasme dan juga kegelisahan terhadap garis kehidupan perempuan masa sekarang.

Maka itu, selain kekuatan filosofi kata-katanya memandang keperempuanan itu, juga dikemas bersama kekuatan aura seni dalam setiap lukisannya yang memendam misteri, terpermanai dalam: mata hitam. Sebuah pandangan yang barangkali refleksi terhadap dirinya sendiri dan diri-diri manusia lainnya berada dan berkelindan dalam arus kehidupan.

Dan Jeihan boleh dikatakan tidak masuk dalam konsepsi flâneur-nya Benjamin. Jeihan tidak terombang-ambing dalam pergantian kondisi yang melayang-layang; ia tidak teracuni untuk tergoda membuka misteri mata hitamnya. Tampaknya ia membiarkan para penikmat/pemandang karyanya untuk bertanya-tanya: ada apa di balik mata hitam itu? Dalam puisi mBeling-nya, Mata (Jeihan, 2000: 39), si pasien yang penglihatannya diuji dokter mata untuk membaca teks: ZAMAN KITA, malah dibaca si pasien dengan: ZAMAN GILA, tampaknya sebuah alegori Jeihan terhadap indera penglihatan manusia yang sudah ‘rabun’ dalam memandang kegilaan-kegilaan hidup di tengah arus zaman sekarang.

Boleh dikatakan sebagai hal yang unik dan menarik. Tapi, filosofi di balik itu begitu dalamnya. Seperti dikatakan Jeihan, perihal kemenarikan itu ada pada perbedaan-perbedaan yang penuh warna. Hitam dan putih merupakan inti warnanya. Hitam sebagai kosong warna, warna kematian, penghapusan, peniadaan, kosong; dan putih adalah sumber warna-warna, yaitu isi dunia ini: kehidupan, pertumbuhan, kelahiran, penjabaran, isi... (Jeihan dalam Sumardjo, t.th: 5).

Dengan begitu, religiusitas Jeihan begitu kental sekali dalam filosofi warna hitam-putih yang mengingatkan pada konsepsi lingkaran Yang dan Yin dalam tamaddun Tiongkok. Lingkaran seluruhnya dalam konsepsi Yang dan Yin berarti alam raya. Bagian yang terang adalah Yang dan yang gelap, Yin. Semua yang ada di dunia ini dibuat dari Yang dan Yin. Jika tak ada terang dan gelap, maka kita tak akan dapat melihat apa-apa (Seeger, 1951: 49 – 50). Harmonisasi antara alam terang dan gelap itu tampak(nya) hidup dalam religiusitas Jeihan dan ketika dibenturkan dengan karya seninya menjadi begitu subtil dimaknai dengan perenungan, tidak sekedar untuk dinikmati/dipandang. Di situlah letak kekuatan auranya. Obyek yang dikatakan memancarkan aura, sehingga Jeihan ingin melukisnya, sebenarnya –dan hakikatnya– nimbus itu berasal dari nafsi dan milieu Jeihan yang berjejal dengan nilai-nilai religiusitasnya, sebagai pribadi muslim yang ta’at.

Pandangan hidup pelukis semacam ini tentu melebihi penghargaan nominal mata uang atas karya-karya yang dibandrol ratusan juta atau miliar rupiah sekalipun. Pun, pandangan hidup seorang artisan jugalah yang menjadi semacam variabel: pasar menghargai lukisan itu begitu mahal. Sebab bukan hanya aura yang dipancarkan lukisannya, tapi pancaran aura sang artisan jugalah yang membuatnya begitu bernilai: mahal.

Sebatas pembacaan mata yang hitam tertuang dalam tulisan ini, puisi Jeihan karya Taufiq Ismail bolehlah kiranya dipakai untuk membaca misteri di balik aura warna dan hitamnya mata dalam karya-karya Jeihan:


yang kau apungkan siapa
yang kutimbang
warna.

yang kau gariskan bayang
yang kutanyakan, masih saja
mata.



Jatinangor, November 2009


Rujukan

Benjamin, Walter. 1982. “The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction” dalam Illuminations. London: Fontana

Frances & Joseph Gies. 1978. Women in the Middle Ages; the Lives of Real Women in a Vibrant Age of Transition. New York: Harper & Row.

Jeihan. 2000. Mata mBeling Jeihan. Jakarta: Grasindo.

Mohamad, Goenawan. 2005. “Tentang Seni dan Pasar” dalam Setelah Revolusi tak Ada Lagi. Jakarta: Alvabet.

Saptawasana, Bima & Haryanto Cahyadi. 2005. “Kebudayaan sebagai Kritik Ideologi; Diteropong dari Perspektif para Eksponen Neo-Marxisme” dalam Mudji Sutrisno & Hendar Putranto. 2005. Teori-Teori Kebudayaan. Jakarta: Kanisius.

Sumardjo, Jakob. t.th. Sajak Filsafat Jeihan. Bandung: Jeihan Institute.

Seeger, Elizabeth. 1951. Sedjarah Tiongkok Selajang Pandang. Djakarta: J.B. Wolters.

Wallbank, T. Walter & Alastair M. Taylor. 1949. Civilization Past and Present. New York: Scott, Foresman, and Company.

Webster's New World Dictionary (3rd College Edition)

Microsoft ® Encarta ® 2009. © 1993-2008 Microsoft Corporation.

May 20, 2010

Amok


Amok
Oleh: Fadly Rahman


Tidak lama sesudah Priok, peristiwa amuk massa terjadi di Batam. Tampak dalam kedua peristiwa itu begitu mudahnya masalah diselesaikan dengan amarah, adu fisik, vandalisme, bahkan menghabisi nyawa sekalipun.

Tentu, amuk dipicu penyebab yang membuat manusia menjadi kalap dan gelap mata akibat tersinggung, terhina harga diri dan kehormatannya yang diinjak-injak. Maka itu, amuk merupakan fenomena kejiwaan individual dan komunal manusia yang bersifat alamiah dan bisa terjadi secara spontan. Dan kejiwaan ini sudah sejak lama dikenal sebagai: amok, yang mana banyak didapati dalam rekaman sejarah di Asia Tenggara.

Sebagaimana kesaksian pelancong Portugis, Tomé Pires, yang menanggapi tradisi amok di Jawa tahun 1515. Pires mengatakan: “orang mengamuk adalah satria bagi mereka, orang yang bersedia mati, dan melaksanakan keputusan untuk mati tersebut”. Anthony Reid (1992) yang menelaah kesaksian Pires ini menyimpulkan amok sebagai kata kerja (mengamok), yang mana dalam kronik Melayu berarti semata-mata menyerang dengan senjata demi menewaskan musuh, meski harus mengorbankan nyawanya sekalipun.

Pada masa kerajaan, amok lekat dengan sikap membela kharisma dan kekuasaan raja melalui jalan pengorbanan nyawa. Misalnya saja di Bali, mengamok untuk berkorban demi kehormatan raja dan tanah airnya disimbolisasikan rakyat dengan mengenakan pakaian putih. Hingga awal abad ke-20 kisah pengorbanan macam ini masih hidup di Bali. Dalam kisah Puputan (perang habis-habisan) Klungkung tahun 1908, demi mempertahankan tanah airnya dari kolonialisme, rakyat Bali mulai dari kaum pria, wanita, hingga anak-anak dengan persenjataan tradisional bahkan tangan kosong turun menghadapi moncong senjata serdadu kolonial. Akhir dari cerita puputan yang heroik itu, banyak rakyat tewas, ditembaki. Mereka seakan tahu, akan kalah; tapi tampaknya, keyakinan gugur dengan jalan demikian –seperti dikatakan Pires– adalah sikap satria. Membela raja mereka adalah tugas mulia.

Jauh sesudah masanya Pires, pada kurun abad ke-19, cerita seputar amok makin menarik perhatian dan rasa penasaran orang-orang Eropa. Tidak seperti kronik sebelumnya, pada abad ke-19 citra amok kian jelas terungkap melalui pencatatan rinci peristiwa dan cerita seputar amok sebagai watak kejiwaan orang Melayu. Dalam kisah itinerario (perjalanan) seorang warga Bengal keturunan Inggris bernama Charles Walter Kinloch pada 1852, yang dibukukan dalam Rambles in Java and the Straits in 1852 menyinggung pengamatan dan penilaiannya tentang kejadian amok di Penang, Malaysia, sepulangnya ia tetirah di Pulau Jawa.

Dengan mengutip berita dalam Penang Gazette, Kinloch menuturkan kisah kriminal di wilayah Bayan Lepas yang dilakukan seorang Melayu bernama Jusoh. Dikisahkan, ketika pulang ke rumahnya, Jusoh mendapati istrinya tengah mengadakan pesta besar dengan mengundang orang-orang tanpa sepengetahuan dirinya. Percekcokan Jusoh dengan sang istri dan para tamu terjadi. Dalam ketersinggungan dan amarah, Jusoh pergi meninggalkan rumah lalu kembali dengan membawa sebilah pisau. Dalam keadaan gelap mata, ia membunuh dan melukai beberapa orang dalam rumahnya. Jusoh pun ditahan polisi.

Petikan cerita kriminal dalam suratkabar itu dikatakan Kinloch sebagai amōk (sic!). Istilah ini kemudian menjadi kosakata dalam bahasa Inggris (amok), dan diplesetkan juga dengan istilah a muck (kotoran). Amok dipakai untuk menerangkan keadaan gelap mata manusia yang rentan terjadi entah karena perasaan bersalah, tersinggung, dan terdesak. Kinloch sendiri menilai fenomena gelap mata dalam alam kejiwaan manusia itu banyak didapati di lingkungan orang-orang Melayu (rumpun bangsa di Asia Tenggara).

Apakah ini benar sebentuk karakter kolektif kejiwaan bangsa Melayu? Tentu taklah benar memukul rata hal tersebut. Tidak semua begitu. Tapi, dalam membaca persoalan karakter itu, pernyataan seorang Belanda bernama Johanes Olivier (1789 – 1858) menarik disimak. Bahwa dikatakannya, mutlak perlu untuk selalu ramah tamah terhadap orang-orang pribumi, selalu sopan dan sekali-kali tidak boleh lekas marah ataupun bersikap menghina. Jika pernyataan Olivier dihubungkan dengan penilaian Kinloch akan memunculkan pertanyaan: apa yang terjadi jika mereka tersinggung? Terkait dengan pengamatan sejaman mereka, gejala amoklah yang umum terjadi.

Namun, hakikat amok pada abad ke-19 sebenarnya telah bergeser dari citranya sebagai sikap satria sebagaimana terdapat dalam kronik kerajaan yang hidup pada masa sebelumnya. Citranya tak lebih dinilai Kinloch sebagai tindakan brutal dan kriminal. Memudarnya kekuasaan raja-raja berikut monarkinya pada abad ke-19 yang digantikan kekuasaan politik Hindia Belanda, membuat watak amok seakan lepas kendali. Tidak adanya lagi kepentingan membela harga diri patron (raja), membuat amok beroperasi dalam kasus-kasus, seperti gerakan sosial atau membela harga diri individu, seperti halnya kisah Jusoh yang gelap mata itu.

Hingga masa alam kemerdekaan pun, fenomena amok masih banyak terjadi. Atas nama identitas, aksi amok dikesankan sebagai ekspresi membela bangsa dan negara. Misalnya masa revolusi kemerdekaan (1945 – 1949) ketika bagaimana dekolonialisasi ditandai kebencian terhadap orang-orang asing Eropa (xenophobia). Ini terbaca dari kisah-kisah repatriasi orang Eropa ke negeri asalnya, peristiwa perusakan properti dan penganiayaan juga mewarnai masa-masa akhir mereka di Indonesia. Betapa, rakyat pribumi yang sebelumnya dicitrakan peramah, berubah menjadi begitu pemarah.

Amok lain juga terjadi tahun 1965 hingga masa sesudahnya. Membaca Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (Jombang-Kediri 1965-1966) karya Hermawan Sulistyo, terungkap betapa kegelapan mata menghasilkan genosida tak terduga yang dipicu persoalan sentimen idiologi antaranak bangsa. Juga tengok kejatuhan Orde Baru pada 1998; bagaimana amuk massa yang diwarnai sentimen etnis terjadi dan disertai penjarahan, perusakan, penganiayaan, hingga pelecehan seksual. Tidak seperti halnya heroisme puputan di Bali, amok-amok macam itu begitu menakutkan, jauh dari sifat satria; sejenis ‘kotoran’ (muck) yang mengotori sejarah bangsa ini.
Aksi adu fisik, menyakiti, dan vandalisme, sebagaimana peristiwa di Priok dan Batam menandakan masih lestarinya amok dalam alam sekarang –yang dibilang– ‘modern’ dan ‘beradab’ ini. Memang, semestinya semua bisa dihadapi dengan kepala dingin. Tapi sebagaimana pesan-pesan lampau, bagi siapa saja, janganlah coba mencari gara-gara yang dapat membangunkan amok.

(source: http://koran.republika.co.id/koran/0/111398/Amok)

May 16, 2010

Kisah di Balik Warung Tegal


Warung Tegal (selanjutnya saya singkat Warteg) adalah salah satu tipe warung makan yang dikenal luas oleh masyarakat Indonesia, terutama melekat di kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah. Harga yang murah dan penyajian yang sederhana merupakan ciri khas yang menjadi faktor utama mengapa warteg lebih melekat di kalangan masyarakat tersebut. Sepiring nasi penuh, sepotong daging ayam, dan kuah sayur, misalnya, dapat kita bayar hanya dengan harga Rp7000,-. Jika dibandingkan dengan restoran Padang, harga menu makan di warteg lebih murah. Warteg boleh jadi sudah menjamah berbagai daerah. Tidak sedikit para pemilik warung ini yang sukses.

Penyajian di warteg begitu sederhana, yaitu dengan menata makanan secara prasmanan, sehingga kita dapat mengambil sendiri pilihan hidangan; ada juga model memilih menu hidangan dengan cara diambilkan oleh pelayan (bisa ibu Sri lihat dalam lampiran foto). Adapun hidangan yang disajikan di warteg bervariasi dan sederhana, terdiri dari: sayur-sayuran (seperti sayur tahu, sayur kacang merah, dan soto), lauk pauk (tempe, tahu, perkedel, goreng-gorengan, goreng ayam, goreng ikan, remis, dan jeroan ayam), urab dan sebagainya. Makanan yang disajikan di warteg didominasi oleh hidangan Jawa. Maklum saja, yang mempunyai usaha warteg adalah orang-orang Tegal yang merantau di kota-kota besar, terutama di kawasan Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, Bandung; Semarang, Solo, dan beberapa daerah lain.

Tegal sendiri adalah salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang terletak di wilayah Pantura (Pantai Utara) dengan kota Slawi sebagai ibukota kabupatennya. Uniknya, di wilayah Tegal sendiri –menurut penuturan pengusaha warteg—, sulit menemukan warteg. Hanya ada beberapa warung di jalan utama. Itu saja tidak sesemarak di luar daerah Tegal. Warteg cukup potensial di luar daerah. Pasalnya, warteg bisa tumbuh dan berkembang ketika berada di lingkungan atau di kawasan industri di kota-kota besar. Apakah mungkin di wilayah Tegal sendiri dibentuk sentra warteg? Kemungkinan itu tampaknya kecil. Hal ini disebabkan karena kebanyakan warga Tegal bukan pendatang. Jadi, kalaupun mendirikan usaha warteg, kemungkinan untuk laris sangatlah kecil.

Meski demikian, tidak ada sumber yang pasti, bagaimana bermulanya usaha warteg ini di daerah-daerah yang saya sebutkan di atas. Namun, diperkirakan eksistensi warteg mulai berkembang pada kurun tahun 1970-an ketika arus urbanisasi besar-besaran mulai terjadi di Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia. Pendorong utamanya, jelas, bahwa orang-orang Tegal yang merantau memandang kota-kota besar, seperti Jakarta dan sekitarnya merupakan lahan bisnis yang menjanjikan. Mereka pun menamakan warung nasi-nya dengan nama “warung Tegal”, karena memang dimiliki oleh orang-orang Tegal. Hampir seluruh usaha rumah makan tersebut di wilayah manapun diberi label “warteg”. Ini bukan bisnis franchise, tapi istilah warteg itu sendiri memang betul-betul sudah menjadi brand image atau dengan kata lain sudah menjadi istilah yang merakyat di mata masyarakat Indonesia sampai saat ini. Tidak perlu aturan untuk meminta izin jika mendirikan rumah makan dengan nama “warteg”, karena siapapun dapat dan boleh memakai label “warteg” tersebut untuk menjalankan usahanya. Sehingga dengan “warteg” ini pula, hubungan kaum perantauan dari Tegal ini dapat terjalin dengan baik sebagai sesama pengusaha seprofesi. Oleh karena itu, para pengusaha warteg ini pun mempunyai inisiatif untuk mendirikan perhimpunan kowarteg (Koperasi warung Tegal) yang bertujuan untuk menjalin kerjasama dan membantu anggota-nya melalui wadah koperasi tersebut.

Banyaknya pendatang dari daerah ke Jakarta tentu menjadi alasan utama mengapa warteg makin bertambah jumlahnya dan makin kuat eksistensinya. Dalam arti, banyak dari mereka yang bekerja di wilayah Jakarta dan sekitarnya sebagai buruh bangunan, buruh pabrik, tukang becak, sopir bus, dan profesi blue collar lainnya yang umumnya berpenghasilan rendah. Penghasilan yang rendah dan keberadaan warteg sudah pasti dihubungkan dengan kemampuan finansial untuk mencari biaya makan yang murah. Maklum saja, biaya hidup di kota-kota besar begitu tinggi. Sehingga dengan kondisi demikian, warteg menjadi solusi tersendiri bagi kaum ekonomi menengah ke bawah untuk menikmati makan yang murah meriah.

Selain itu, target konsumen mereka adalah para mahasiswa daerah yang indekos. Tidak heran kalau di daerah kampus, warteg dapat dicari dengan mudah. Ketika saya masih berkuliah di Bandung, warteg memang menjadi tempat makan yang selalu penuh dengan mahasiswa, terutama ketika jam makan siang. Kiriman uang dari orangtua yang terbatas menjadi alasan utama, mengapa para mahasiswa memilih warteg.

Warga Tegal memang lebih suka menjadi wira swasta, sebagian besar membuka usaha warteg yang tergabung dalam perhimpunan Kowarteg (Koperasi Warung Tegal). Jika melihat sekilas usaha warung nasi yang dilakoni kaum perantauan dari Tegal ini, mungkin tidak pernah terlintas di benak kita, bagaimana kehidupan mereka di kampung halamannya. Saya malah pernah berpikiran, bahwa mereka yang mengais rizki di daerah lain mungkin adalah orang yang kehidupannya susah di kampung, sehingga dengan membuka usaha warteg ini setidaknya mereka dapat menafkahi mereka dan keluarganya di kampung halaman.

Ternyata pikiran saya itu meleset. Bukan hanya sekedar untuk menafkahi keluarga mereka, namun kesuksesan mereka ternyata layak diacungi jempol. Meski rata-rata berpendidikan rendah, kekayaan mereka di tanah rantau sebagai pedagang warteg tidak boleh dianggap remeh. Setiap pulang kampung, umumnya pada saat hari raya Lebaran, para pengusaha warteg ini tak pernah lupa menyumbangkan uangnya, untuk membangun dusun atau desa masing-masing. Suasana ramai pun tampak di rumah-rumah mewah (menurut ukuran warga Tegal, karena bertembok dan bertingkat) milik pengusaha warteg yang sukses di Jakarta.

Bahkan, keramaian itu sebenarnya sudah tampak dua hari sebelum Lebaran. Sebab, beberapa hari menjelang Lebaran warga yang sukses membagi-bagikan sembako (sembilan kebutuhan bahan pokok) dan uang kepada warga tidak mampu. Para pengusaha itu pun membuka pintu lebar-lebar pada saat Lebaran tiba. Selama masa masa mudik itulah ekonomi Kabupaten Tegal menjadi lebih semarak dan perputaran ekonomi menjadi lebih dinamis
Setelah mengantongi uang banyak dari bisnis warteg, banyak dari mereka yang membangun rumah besar di desanya. Meski demikian, rumah itu hanya dihuni kalau mereka pulang, ya itu tadi, saat Lebaran. Kalau hari-hari biasa banyak yang tanpa penghuni.

Itu sekilas rekaman kisah yang saya peroleh, baik dari pengalaman mengobrol dengan pemilik warteg ketika masih kuliah dulu; maupun informasi yang pernah saya baca dari media massa yang mengulas tentang bisnis warteg. Mereka memang memiliki jiwa yang ulet, kreatif, dan mandiri, sehingga dapat meraih kesuksesan seperti yang sudah saya kisahkan tadi. Bahkan, Pemerintah Daerah Tegal pernah mempunyai rencana untuk mengutip Rp. 1000,- kepada tiap-tiap pengusaha warteg yang tersebar ribuan jumlahnya di luar kota. Kalau program ini dilaksanakan, jutaan rupiah tiap bulannya dapat mengucur ke kantong pemerintah daerah Tegal untuk membangun desa-desa terpencil. Hal itu menjadi sebuah ukuran begitu pentingnya peranan pengusaha warteg ini.

Makanan Khas

Mengenai makanan khas yang ada di warteg, kalau menurut saya, tidak ada yang istimewa. Tidak ada yang istimewa ini maksudnya karena sudah begitu umum dikenal oleh khalayak masyarakat. Variasi menu hidangan yang tersedia di warteg, memang didominasi oleh cita rasa makanan Jawa Tengah-an yang mempunyai ciri khas santan di beberapa hidangan berkuahnya, namun tidak bercita rasa pedas, seperti halnya hidangan asal Sumatera.

Tapi, kalau berbicara makanan khas Tegal, walau agak menyimpang sedikit dari warteg, saya ingin menyampaikan beberapa jenisnya. Tegal memiliki beberapa jenis “koleksi” kuliner berupa makanan dan minuman khas. Misalnya: teh poci yaitu teh diseduh dalam poci tanah liat kecil dan diminum dengan gula batu, sehingga ada istilah teh poci “wasgitel” kepanjangan dari kata: wangi, panas, sepet, legi, lan (lan dalam bahasa Indonesia berarti kental). Tegal hingga saat ini dikenal sebagai sentra penghasil teh. Teh dijarangi pada poci tanah (teh poci) kemudian dituang ke dalam cangkir dengan pemanis gula batu. Teh dalam cangkir tidak diaduk, sehingga rasa manis ditemukan pada saat isi teh dalam cangkir hampir habis. Hal ini menyebabkan cangkir terus dituangi. Selain teh poci, juga ada aneka jenis makanan seperti yang terdapat dalam buku resep masakan Jawa Tengah berikut ini:

• Sate Tegal (sate kambing muda khas Tegal dengan bumbu sambal kecap), dan sate bebek majir;
• Kupat atau ketupat glabed, kupat blengong (kupat glabed dengan daging blengong. Blengong yaitu keturunan hasil perkawinan bebek dan angsa), dan kupat bongko (ketupat dengan sayur tempe yang telah diasamkan);
• Nasi ponggol, dan nasi bogana (nasi megono),
• Sauto (soto ayam atau babat khas Tegal dengan bumbu tauco dan tauge), dan tahu plethok.
• Mendoan, yaitu tempe goreng yang dilapis tepung dengan bumbu. digoreng tidak kering. Biasanya sebagai teman minum teh poci, dihidangkan dengan sambal.
• Sega Lengko - nasi lengko: adalah nasi dengan bahan pelengkap seperti tempe, tahu yang diiris dadu, toge, dan sambal kacang serta kerupuk.
• Tahu aci: Tahu dengan tepung aci (kanji atau sagu) kemudian digoreng.
• Kemronyos, yaitu sate khas Tegal
• Pilus: makanan kecil (snack) dari tepung terigu.

Memang, makanan yang saya sebutkan di atas tidak semua identik dengan hidangan warteg, namun kadang ada warteg yang menyediakan hidangan istimewa, seperti Soto Tegal dengan memesannya terlebih dahulu. Paling yang mudah dihidangkan dan selalu tersedia adalah tempe mendoan. Adapun jenis makanan khas Tegal bisa ditemukan di rumah makan Jawa Tengah, karena pada dasarnya jenis makanan Tegal –seperti halnya Cirebon— merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari koleksi kuliner Jawa Tengah.

Picture Source: http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=3508

Di Balik Makna dan Simbolisasi Tumpeng



Makna di balik tumpeng

Tumpeng adalah sejenis sajian olahan nasi yang dibuat dengan bentuk kerucut menyerupai kemuncak gunung (top of mountain), umumnya dibuat dalam dua jenis: nasi kuning dan nasi putih. Biasanya tumpeng dibuat ketika acara selamatan , seperti memperingati kelahiran anak, peresmian rumah dan gedung yang baru selesai dibangun, lulus sekolah, hingga naik jabatan.

Mengaitkan tumpeng dengan tradisi selamatan ini sangat identik dengan budaya khas suku bangsa di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa (Jawa, Sunda, dan Madura) dan Bali yang memandang tumpeng sebagai simbolisasi bersifat sakral. Meskipun begitu, banyak yang tidak memahami makna tumpeng, utamanya saja jika dilihat dari segi bentuknya. Karena yang lebih ditekankan adalah tradisi selamatannya. Hanya Bali yang masih terasa pengaruh Hindu yang dominan; sedangkan Pulau Jawa lebih menunjukkan keunikan, karena meski adanya pengaruh Islam , namun yang terjadi adalah akulturasi antara unsur Hindu-Islam-dan budaya lokal (syncretism). Maka tidak mengherankan jika pengaruh Hindu tersebut masih terjaga, bahkan hingga masa-masa kemudian telah menyatu sebagai bagian dari tradisi lokal di kalangan pemeluk keagamaan apapun di Indonesia. Selain itu, bukan hanya di lingkungan masyarakat pribumi; pada masa kolonial orang-orang Belanda dan keturunan (Indo) juga bahkan kerap melakukan tradisi selamatan dengan menyajikan tumpeng dan nasi kuning ketika sedang memperingati ulang tahun anak-anaknya, peresmian rumah yang baru dibangun, dan perpisahan seorang pejabat pemerintah yang dipindah tugas ke daerah lain.

Sebagaimana saya singgung di atas, dalam tradisi tumpeng dan juga selamatan itu sendiri terdapat unsur pengaruh Hindu yang kuat. Selain disertai dengan ritual berdoa untuk keselamatan bersama, tradisi tumpeng juga bisa dilihat dari simbolisasi tumpeng dengan bentuk kerucutnya (trapezium) yang mengingatkan pada bentuk miniatur gunung. Dan gunung sendiri bagi penganut Hindu diberi istilah méru, representasi dari sistem kosmos (alam raya). Pada masa kerajaan Hindu-Budha berkuasa di Indonesia, konsep méru ini dapat dilihat dari penempatan keraton (tempat tinggal raja) yang terletak di sekitar rangkaian pegunungan. Misalnya, Keraton Suradipati Kerajaan Sunda di Pakuan Pajajaran (berakhir eksistensinya pada tahun 1579 AD karena invasi kerajaan Islam Banten) terletak di sekitar tiga rangkaian pegunungan, yaitu Gunung Salak, Pangrango, dan Gedé (di wilayah Bogor sekarang).

Jika dikaitkan dengan bagian kemuncak tumpeng, maka hal itu melambangkan Tuhan sebagai penguasa kosmos; adapun aneka sayur dan lauk-pauk yang ditata di bagian bawah tumpeng melambangkan kehidupan (tumbuhan, hewan, dan manusia). Dalam kepercayaan Hindu-Jawa, alam terdiri dari alam tumbuh-tumbuhan, alam binatang, dan alam manusia. Di sini, alam tumbuh-tumbuhan diwujudkan melalui bahan-bahan, misalnya kacang panjang, urap , dan sayur kangkung; Alam fauna diwujudkan melalui daging hewan seperti ayam, kambing, sapi, dan babi ; adapun alam manusia diwujudkan dalam bentuk nasi tumpeng itu sendiri.

Maka jika memaknai bentuk tumpeng, terkandung harapan bagi yang mengadakan sebuah seremoni, yaitu kehidupan bisa semakin baik, menanjak naik dan tinggi seperti halnya bentuk kemuncak tumpeng itu sendiri. Misalnya bayi yang baru lahir diharapkan menjadi anak yang pintar dan sukses di masa depan; atau seseorang yang meninggal dapat menikmati kehidupan yang lebih baik di alam kematian. Filosofinya sederhananya saja: bentuk kerucut melambangkan gunungan (méru) sebagai sifat awal dan akhir, simbolisasi dari sifat alam dan manusia yang berawal dari Tuhan dan akan kembali lagi (berakhir) pada Tuhan.

Tumpeng dalam jenis dan Fungsi Seremonialnya
Menurut jenisnya, tumpeng dibagi dua, tumpeng nasi kuning dan tumpeng nasi putih. Kedua jenis tumpeng ini biasanya disajikan dalam perayaan kelahiran bayi, ulang tahun, syukuran, khitanan, perkawinan, atau upacara tolak bala. Yang membedakan, tumpeng nasi putih biasa disajikan dengan ayam ingkung (berbumbu aréh ), bacem tempe, dan ikan asin. Selain itu, jenis tumpeng dibedakan juga menurut fungsinya, antara lain:

a. Tumpeng Nasi Putih dan Nasi Kuning
Tumpeng memiliki dua jenis warna, yaitu putih dan kuning. Kedua warna tersebut sarat akan makna. Tumpeng berwarna putih artinya melambangkan kesucian; sedangkan yang berwarna kuning melambangkan rezeki yang melimpah (kekayaan) dan masa depan penuh harapan baik. Tumpeng nasi kuning biasanya dibuat pada acara kelahiran, ulang tahun, khitanan, pertunangan, syukuran dan upacara tolak bala (tolak wabah penyakit).

Keduanya sama berbentuk kerucut, namun dari segi kelengkapan ingredient-nya, memiliki perbedaan. Komposisi bahan tumpeng putih adalah ayam panggang bumbu aréh (ingkung), ikan asin, urap, telur pindang , bacem tahu dan tempe, sayur kluwih serta dendeng ragi. Sedangkan lauk pauk pada tumpeng kuning adalah tempe kering, kentang dan teri, sambal goreng hati, dendeng ragi, ayam goreng, perkedel, udang, dan telur dadar. Tiap komposisi bahan memiliki arti tersendiri. Misalnya ikan asin (teri) goreng melambangkan kegotongroyongan atau kebersamaan; Telur pindang berarti kebulatan tekad; dan sayur-sayuran melambangkan ketenteraman dan rezeki yang melimpah.

b. Tumpeng Nasi Putih

Adapun yang membedakan kedua jenis tumpeng ini biasanya dapat dilihat dari tumpeng putih yang tidak memakai ayam goreng, tetapi ayam panggang bumbu aréh selain bacem tahu dan tempe. Sedangkan tumpeng nasi kuning –sebenarnya- komposisi bahannya tidak jauh berbeda, namun biasanya ditambahkan perkedel, tempe dan kentang kering, abon, irisan ketimun, dan irisan telur dadar.

c. Tumpeng Robyong
Dalam adat Jawa tumpeng robyong dibuat saat upacara siraman pada acara perkawinan. Ciri dari tumpeng ini diletakkan dalam bakul dengan berbagai macam sayuran. Kemuncaknya diberi telur ayam, bawang merah, terasi, dan cabai (lihat gambaran tumpeng robyong di samping kiri). Di dalam bakul, selain nasi terdapat juga urap, ikan asin, dan telur ayam rebus.

d. Tumpeng Nujuh Bulan
Dibuat ketika acara memperingati kehamilan pada usia tujuh bulan. Di atas permukaan alas yang dialasi daun pisang, tumpeng nasi putih diletakkan di tengah dan dikelilingi oleh tujuh tumpeng berukuran kecil, yang dihiasi telur rebus, sayur-mayur dan lauk pauk.

e. Tumpeng Pungkur
Jenis tumpeng yang dibuat ketika ada kematian. Cirinya tumpeng dibelah dua, diletakkan saling membelakangi, dan ditaruh di alas (tampah), kemudian tumpeng dibawa ke pemakaman. Kenapa tumpeng ini diberi nama “pungkur” karena setelah dipotong vertikal lalu diletakkan saling membelakangi. Tumpeng ini pun dibuatnya sangat sederhana, yaitu hanya nasi putih yang dihias oleh sayuran di sekeliling tumpeng.

f. Tumpeng Nasi Uduk
Tumpeng jenis ini biasanya digunakan saat peringatan Maulid (kelahiran) Nabi Muhammad dan disebut juga dengan istilah tumpeng tasyakuran. Dibuat dalam komposisi bahan ayam ingkung bumbu aréh, lalapan, rambak goreng, dan kedele hitam goreng.

Sebenarnya, selain lima jenis tumpeng di atas, masih ada lagi beberapa jenis tumpeng lainnya. Dan mungkin sekali juga banyak jenis tumpeng yang muncul dari proses modifikasi, karena tumpeng sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya ketika memperingati momen dan peristiwa penting. Dengan demikian makna filosofis dari tumpeng sendiri terkadang sudah tidak tampak lagi seiring dijadikannya tumpeng sebagai bagian gaya hidup. Misalnya modifikasi tumpeng dapat dilihat dari diadakannya kursus-kursus pembuatan tumpeng yang menunjukkan kreasi dan variasinya, salah satunya pemilihan komposisi bahan lauk pauk dan sayuran yang disesuaikan dengan selera si pembuat tumpeng.

Referensi:

Ganie, Suryatini N. 2003. Upaboga di Indonesia: Ensiklopedia Pangan & Kumpulan Resep. Jakarta: Gaya Favorit.

Herayati, Yetti et.al. 1984-1985. Makanan: Wujud, Variasi dan Fungsinya serta Cara Penyajiannya pada Orang Sunda di Jawa Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Heine Geldern, R., “Conceptions of State and Kingship in Southeast Asia,” The Far Eastern Quarterly, Vol. 2, November 1942.

Moertjipto. 1993/1994. Makanan: Wujud, Variasi dan Fungsinya serta Cara Penyajiannya pada Orang Jawa Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Rahman, Fadly. 2006. Menelusuri Kebiasaan Makan Daging Babi di Bali (tidak dipublikasikan)

Referensi tentang kehidupan sehari-hari Orang Belanda dan Indo di Hindia Belanda yang sepintas saya singgung dalam tulisan ini:

Muharyo. 1992. “Mereka Rindu Nederlands Indie”, Femina, No. 33/XX, 20-26 Agustus.

Pattynama, Pamela. “Keluarga Indis; Kehidupan Sehari-Hari pada Masa Sebelum Perang di Batavia” dalam Joost Cote & Loes Westerbeek (ed.). 2005. Recalling Indies: Kebudayaan Kolonial dan Identitas Poskolonial. Jakarta: Syarikat.

Stok-van Es, Ena. 1992. De Stille Roep van Insulinde. Holland: Zuid-Hollandsche Uitgevermaatschappij.

Menelusuri Kebiasaan Makan Daging Babi di Bali


Berawal dari pandangan umum bahwa makanan di setiap wilayah tidak dapat dilepaskan dari tiga faktor penting, yaitu iklim, sumber daya alam, dan kebiasaan masyarakat. Di Indonesia, peta kuliner sangat beragam dan menarik. Selain tiga faktor di atas, saya yakin ada hal yang melatarbelakangi perkembangan budaya makan yang terkait dengan aspek-aspek historis, di samping kultur masyarakat. Selalu muncul pertanyaan yang menggelitik, mengapa suatu jenis makanan atau suatu raw material begitu identik dengan suatu kawasan tertentu.

Bali menjadi salah satu dari sekian kasus kuliner yang saya pandang unik dan menarik, karena –mungkin— selain dilandasi nilai-nilai sejarah dan budaya, khasanah kuliner Bali juga mengandung nilai religius. Sebagian besar orang luar Bali yang beragama Islam, selalu takut untuk mencoba mencicipi masakan Bali yang identik dengan babi. Masakan seperti lawar yang mengkombinasikan gudeg-urap khas Bali yang diberi darah babi mungkin tampaknya telah memberikan prediksi yang kuat pada masyarakat luar Bali yang ingin berkunjung ke tempat wisata ini untuk tidak mencicipi hidangan pulau dewata ini. Memang, saya memandang, untuk konsumsi orang Bali, daging babi masih digunakan. Terlebih lagi bagi umat Hindu, sapi (putih) termasuk hewan suci yang masih sakral dan tidak boleh disembelih. Hal inilah yang tampaknya membuat babi sebagai konsumsi daging utama (chiefly food) bagi sebagian besar masyarakat Bali.


Orang Bali
Awal sejarah Bali tidak dapat dilepaskan dari asal-usul dan evolusi masyarakatnya. Orang Bali diduga memiliki darah campuran Mongoloid yang bergerak ke pulau utama menuju kawasan Asia Tenggara, jauh sebelum masa sejarah. Pengaruh asing terbesar bagi orang Bali awalnya dibawa oleh orang-orang India (pedagang dan pelancong) yang membawa serta pengaruh ajaran Hindu. Bali kemudian berbagi sangat banyak dalam gelombang Indianisasi yang menyebar di hampir banyak kawasan Asia Tenggara di paruh akhir milenium pertama.

Hinduisasi di Bali merupakan sebuah proses yang berlangsung berabad-abad. Pengaruh yang paling meresap ternyata bukan dari India saja, namun ternyata lebih dekat ke Jawa, yang sebenarnya lebih dahulu terkena proses Indianisasi dibandingkan Bali. Pada tahun 1001 (atau mungkin 991), Bali telah sepenuhnya terkena proses Hinduisasi. Pada masa kekuasaan Airlangga, Singasari amat memengaruhi Bali, baik secara politik maupun budaya. Namun hubungan itu bukan tanpa konflik. Orang-orang Bali beberapa kali menuntut otonomi mereka dari kerajaan Singasari. Bahkan, ketika kekuasaan beralih ke tangan Majapahit, tuntutan itu masih terjadi. Akhirnya, tuntutan itu terwujud ketika kekuasaan Majapahit berakhir pada tahun 1515. Bali kemudian memiliki otonomi untuk mengatur urusan dalam negerinya.

Pada periode Majapahit, sejarah Bali mulai jelas memuat dan memiliki pola, meski banyak menyisakan legenda-legenda. Jatuhnya Majapahit menandai bangkitnya Mataram yang merupakan kerajaan bercorak Islam. Banyak dari ribuan pendeta, bangsawan, tentara, seniman, pengukir, yang berpindah dari Jawa ke Bali untuk menghindarkan diri mereka dari para penakluk muslim. Di Bali, mereka memberikan impuls yang kuat bagi pertumbuhan tradisi Hindu Jawa yang terdesak oleh kekuatan Islam. Fenomena migrasi ini kemudian menghasilkan terjadinya transfusi budaya yang besar di wilayah Bali. Selama kurang lebih 400 tahun, tanpa diganggu mereka hidup menetap di Bali dan memiliki keturunan.

Lantas, apa hubungan masa Hindu Jawa yang diwakili oleh kekuasaan Majapahit tersebut bagi budaya orang Bali, terutama berkaitan dengan kebiasaan makan mereka yang menjadikan babi sebagai konsumsi daging utama. Di sini saya tidak begitu sepakat dengan daging pilihan (meat of choice), karena saya lebih memandang daging babi lebih dari sekedar pilihan, namun menjadi suatu yang utama di kalangan masyarakat Bali.

Asal-Usul
Dalam kitab Nagarakrtagama (1365), babi disinggung sebagai salah satu jenis daging yang dihidangkan di Istana Majapahit, selain daging domba, kerbau, ayam, lebah, ikan, dan bebek. Selain itu, juga ada beberapa jenis daging lagi yang tidak dihidangkan kepada orang yang taat karena pantangan Hindu, meskipun banyak digemari oleh rakyat biasa, seperti kodok, cacing, penyu, tikus, anjing. Banyak sekali pada masa itu orang-orang yang menggemari daging-daging ini. Agama Hindu tampaknya nyaris tidak berperan dalam mengekang sumber-sumber protein. Seorang Cina Muslim, Ma Huan, tercengang ketika melihat makanan orang Jawa bukan Islam yang dikatakannya sangat kotor dan buruk. Binatang-binatang seperti ular, semut, dan semua jenis serangga serta cacing menjadi bahan-bahan konsumsi. Selain Madura, Bali adalah wilayah pengekspor ternak ke Jawa pada abad ke-14 sebagaimana juga masih bertahan selama berabad-abad. Ternak-ternak seperti domba, biri-biri, kerbau, babi, unggas, dan anjing menjadi upeti yang dikirim ke Majapahit kala itu.

Berbagai jenis babi diperkirakan sudah ditemukan di hutan-hutan Asia Tenggara selama ribuan tahun dan diternakkan paling tidak sejak 3000 tahun S.M. Babi dianggap sebagai pengalih yang paling efisien dari padi-padian ke daging dan merupakan sumber daging utama di wilayah-wilayah di mana Islam belum masuk. Orang Eropa berpendapat bahwa babi Asia Tenggara lebih sehat daripada babi di Eropa. Orang Islam kemudian mendorong peternakan kambing sebagai pengganti babi, meskipun kambing sudah ada (sebelum Islam) hingga sejauh Sulawesi, tapi belum sampai ke Filipina. Hanya di Bali, yang kepadatan penduduknya telah mengakibatkan pembabatan hutan yang tiada taranya, hewan-hewan Asia Tenggara diternak untuk dijadikan penghasil daging sapi tropis yang istimewa; meskipun setidaknya pada abad ke-19 orang Hindu Bali sendiri tidak bersedia memakannya. Maka wajar, jika hingga saat ini sapi putih tropis masih dianggap suci di Bali; sehingga babi menjadi salah satu bahan makanan alternatif.

Lantas, apa yang kemudian menjadikan babi sebagai daging konsumsi utama di kalangan masyarakat Bali? Hal ini tampaknya tidak dapat dilepaskan dari peran orang-orang Hindu Jawa yang bermigrasi ke Bali pascaruntuhnya kekuasaan Majapahit. Pada abad ke-16, ketika masa kekuasaan Raja Batu Renggong, orang-orang Bali mentransformasikan pengaruh-pengaruh Majapahit untuk disesuaikan dengan kebutuhan hidup. Mereka menciptakan apa yang dalam kenyataannya sebagai budaya kontemporer Bali serta memberikan elemen-elemen khusus. Mereka juga membawa dan mempertahankan kebiasaan-kebiasaan mereka, termasuk didalamnya persoalan kebiasaan makan Di sisi lain, pengaruh agama dapat disimak dari pantangan untuk tidak memakan daging sapi putih sebagai suatu pantangan seperti halnya yang dianut oleh orang-orang Hindu-India. Tentu ini sebuah paradoks dengan orang-orang Islam yang berpantangan untuk tidak mengkonsumsi daging yang haram, babi. Bali adalah sebuah perkecualian yang memadukan nilai sejarah, budaya, dan keyakinan dalam unsur-unsur budaya makan mereka. Indikasi mengapa babi menjadi konsumsi utama masyarakat Bali dapat juga disimak dari dijadikannya hewan ternak ini sebagai komoditi utama, terutama sejak abad 19 hingga awal abad ke-20.

Pada kurun abad ke-19 hingga awal abad ke-20, Babi adalah hewan ternak –selain lembu— yang menjadi kebutuhan utama rumah tangga keluarga Bali. Hampir setiap kepala keluarga memiliki paling sedikit satu sapi dan beberapa ekor babi yang diperuntukkan untuk kebutuhan pribadi atau nantinya akan dijual ke pasar lokal dan juga ekspor. Pada tahun 1910, total ekspor babi dari selatan Bali mencapai 33.400 ekor. Babi yang dijual tiap ekornya dihargai fl. 20 (fl=florin, satuan mata uang zaman Belanda). Sebagai hewan domestik, sudah menjadi pertimbangan bahwa babi merupakan komoditi ekonomi sekaligus sebagai bahan makanan yang dikonsumsi.

Namun, ada hal yang lebih penting dari sekedar hewan komoditas. Di Bali, babi juga adalah hewan yang digunakan dalam kegiatan-kegiatan ritus. Seperti disinggung oleh ahli sejarah Asia Tenggara, Anthony Reid, umumnya riwayat daging dalam kegiatan ritus di kawasan Asia Tenggara sudah menjadi suatu hal yang penting, sebagaimana orang Bali memandang daging babi dalam kegiatan ritusnya. Dijadikannya babi sebagai kegiatan ritus di Bali, salah satunya dapat disimak Dalam rekaman kisah seorang Amerika bernama Collin McPhee dalam bukunya A House in Bali (1947), ia mengisahkan dirinya ketika memberikan hadiah dua ekor babi dalam acara Galungan. Babi, tutur McPhee, merupakan chiefly food bagi sebagian besar masyarakat Bali. Ketika orang Bali merasa berhutang budi dalam suatu hal, maka hadiah atau balas budi diwujudkan dengan menyembelih seekor babi miliknya. McPhee mengatakan juga bahwa babi yang telah disembelih kadang dijadikan sebagai sebuah wujud untuk menyenangkan sesepuh desa.

Prosesi penyajian hidangan meriah dengan menu daging babi disaksikan McPhee sebagai berikut:

…meanwhile, other helpers were engaged in preparing the classic accompaniments: rice, of course; pepahit –a “bitter” dish of stewed blimbing leaves to counteract the richness of the pig; sausage, made form the pig’s blood and urab, a hash of finely mixed coconut, green papaya, the chopped liver, and the heart. At last, the pig was pronounced done to a turn. It was pleased on a banana leaf in along wooden platter. The skin was brittle as thin glass and the meat, perfumed beyond words from the spice, melted on tongue.

Bukan hanya dalam kegiatan ritus, babi sudah sejak lama menjadi semacam mitos yang melekat di lingkungan orang Bali. Sewaktu McPhee mengunjungi Kuil Kematian, ia menyaksikan relief-relief arkais yang menunjukkan manusia dikelilingi oleh banyak babi. Ada pula kisah Raja Badulu yang dikisahkan memiliki semacam topeng mengerikan, kombinasi mata manusia dan mulut dengan moncong dan taring babi hutan. Dikisahkan bahwa Raja Badulu terlahir memiliki kekuatan magis. Ketika kecil, Raja Badulu seringkali menghibur dirinya sendiri dengan memotong kepalanya dan meminta para pelayannya untuk memasangkan kembali kepala yang terpisah dari raganya itu. Suatu ketika, kepala raja menggelinding ke sungai dan terbawa arus. Para pelayan tidak mampu mendapatkan kembali kepala tuannya. Dalam rasa putus asa, mereka akhirnya memenggal kepala seekor babi hutan dan memasangkannya di leher sang raja…

Simpulannya, menilai keidentikkan babi dalam ruang lingkup kehidupan masyarakat Bali yang dihubungkaitkan dengan nilai-nilai budaya masa lalu tentu mengandung interpretasi yang masih cair. Namun, jika kembali kepada tiga faktor: iklim, sumber daya alam, dan kebiasaan masyarakat, kecairan penafsiran tersebut tampaknya dapat dipertimbangkan.

Pengaruh Cina?

Menyoal pengaruh Cina terhadap kuliner Bali, saya pikir tidak sebegitu jelas jika dibandingkan dengan makanan di Jawa, Jakarta, atau Pontianak yang coraknya masih dapat dirasakan. Hanya yang mengundang rasa penasaran, jika berpijak dari anggapan bahwa daging babi juga begitu identik dengan kuliner Cina, apakah ada pengaruh Cina dalam penggunaan daging babi di Bali? Di sini, saya tidak terlalu dapat berspekulasi, karena tidak ada satu pun referensi yang menyinggung pengaruh tersebut. Denys Lombard bahkan menyebut bahwa kebudayaan Cina di Pulau Bali jarang sekali disebut. Hal menarik yang disinggung Lombard adalah pengaruh Cina dalam aspek botani, yaitu tamanan buah leci (lizhi). Ya, buah yang dianggap sebagai tanaman asal “Kunlun” (sebutan dalam sumber-sumber kuno Cina bagi kawasan Maritim Asia Tenggara) itu ternyata sejak zaman Dinasti Han (202 S.M – 220 M) dijadikan sebagai upeti untuk dikirim ke istana; serta salah satu komoditi yang diekspor ke utara dan ke selatan. Buah leci yang jarang dan ternyata terdapat di Tabanan, Bali (selain di Cianjur, Jawa Barat), setidaknya menandakan kehadiran pengaruh Cina di pulau tersebut. Pun, tidak ketinggalan

Memang, secara geografis Bali terletak membentang sejauh satu mil dari kawasan timur Jawa di lintas perdagangan langsung antara kepulauan rempah-rempah di Maluku dan pelabuhan-pelabuhan Asia yang juga mendistribusikan rempah-rempah seperti cengkih, pala, dan pala kering. Kondisi geografis inilah yang membuat Bali pada masa emporium telah disinggahi oleh para pedagang dan musafir India, Arab, Cina, Jepang, Bugis, dan pedagang-pedagang timur lainnya yang bukan hanya membawa barang-barang niaga, namun juga tata cara dan kebiasaannya. Sekalipun Pulau Bali disinggahi dan dimukimi, orang-orang Bali lebih memilih untuk mempertahankan kultur mereka, dengan sedikit kemungkinan menerima pengaruh-pengaruh asing dalam kehidupan mereka.

Dengan berlandaskan pada kenyataan tersebut, di sini Willard A. Hanna menyinggung mengenai keberadaan orang-orang Cina di Bali terutama pada abad ke-19. Hanna tidak menyinggung kebudayaan material Cina yang berarti, selain kopeng (koin Cina berlubang) dan buah pinang yang disuka orang Bali tua dan muda. Lombard, Hanna, atau Kong Yuanzhi yang mengupas warisan kuliner Cina ini pun bahkan tidak menyinggung sama sekali wilayah Bali berkaitan dengan silang budaya Cina di di Nusantara. Mungkin Lombard benar, jarang disebutnya kebudayaan Cina menandakan agak kaburnya budaya Cina di pulau dewata tersebut.

Referensi

Hanna, Willard. 1991. Bali Profile: Peoples, Events, Circumstances (1001-1976). Banda Neira: Rumah Budaya Banda Neira.

Kong Yuanzhi. 2005. Silang Budaya Tiongkok Indonesia. Jakarta: BIP.

Lombard, Denys. 2000. Nusa Jawa Silang Budaya (Jilid II: Jaringan Asia). Jakarta: Gramedia.

McPhee, Collin. 1947. A House in Bali. Kuala Lumpur: Oxford University Press.

Owen, Sri. 1999. Indonesian Regional Food and Cookery. London: Frances Lincoln.

Reid, Anthony. 1992. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga (Jilid I: Tanah di Bawah Angin). Jakarta: Obor.

Stibbe, D.G. 1921. Enclopædie van Nederlandsch-Indië (jilid 4, subjek: voedingsmiddelen). ‘S-Gravenhage: Martinus Nijhoff.

Vuyk, Beb. 1987. Groot Indonesisch Kookboek. Utrecht: Uitgeverij Kosmos.

May 10, 2010

Jejak Angklung dalam Kebudayaan Bambu



Oleh: Fadly Rahman

Abstract

At the present, angklung is one of bamboo musical instrument which linked very closely with Sundanese culture. Before popular as contemporary art instrument on 20th century, the trace of angklung had been known since the Hindu period that was used on rice harvest ceremony as the libation to the rice goddess, Nyai Pohaci; as accompanist of art performance; and as war spirit instrument in the military corps of Pajajaran Kingdom. Although bamboo culture also existed in other part of Indonesia and even Southeast Asia region, but according to the sources of 19th century, the term of angklung was tight referred to the Sundanese (musical) instrument. These working paper try to analyze the image of angklung development by observed the past and present sources.

Keywords: bamboo, angklung, and Sundanese culture


Pendahuluan

Dalam kebudayaan tradisional, kedudukan dan fungsi alat musik lazim lekat dengan nilai-nilai kepercayaan masyarakat pendukungnya. Meski, seiring perkembangan zaman, kedudukan dan fungsinya itu mengalami perubahan atau modifikasi akibat persentuhan dengan seni modern, namun hakikatnya bagi sebagian masyarakat lokal/adat tertentu, kedudukan dan fungsinya masih dipertahankan dan dijalankan.

Demikian juga yang dialami angklung. Instrumen musik bambu yang lekat citranya dengan kebudayaan Sunda di barat pulau Jawa itu setidaknya mengalami kesamaan fase perkembangan sebagaimana dikatakan Colin McPhee (1937: 323) dalam penelitiannya tentang kedudukan dan fungsi angklung gamelan di Bali, yaitu menyoal keberadaannya di masa lalu, masa sekarang, dan –di antara keduanya itu– masa peralihan. Perkembangan angklung dalam kebudayaan Sunda memang menghadirkan ketiga fase tersebut, jika menyimak keberadaan tradisi masa silam angklung dalam lingkungan masyarakat adat di Jawa Barat yang masih hidup saat ini, seiring persentuhannya dengan seni modern.

Namun, aksi pengklaiman angklung –sebagaimana banyak diberitakan media massa– oleh sebuah jiran beberapa tahun belakangan mengemuka dan menarik naluri kebudayaan elemen masyarakat Indonesia untuk mempertahankan identitas kebangsaannya. Namun, itu semua tentu butuh pembuktian. Maka itu, untuk mendudukkan persoalan angklung –bukan pembuktian atas dasar klaim, berarti mestilah menelaah akar masa lalu salah satu dari wujud budaya bambu ini.

Setidaknya, beberapa alat-alat musik tradisional, baik rupa maupun deskripsinya tergambarkan di relief-relief candi dan naskah-naskah kuno. Secara umum pun hubungan instrumen musik bambu dengan kebudayaan bambu, baik di Asia Tenggara maupun wilayah tertentu di Indonesia, menjadi penting untuk ditelusuri sejauh mana hubungan semua itu. Akhirnya dalam menyusun makalah ini, reportase-reportase berupa catatan perjalanan orang Eropa pada abad ke-19 menjadi penerang (per)jalan(an) angklung yang kini dikatakan sebagai milik kebudayaan orang Sunda itu.


Angklung dalam Universalitas Kebudayaan Bambu

Bambu merupakan varietas flora yang banyak dipakai dalam hidup keseharian masyarakat di Asia Tenggara, mulai dari kebutuhan sandang, pangan, papan, hingga hiburan. Selain dilandasi kebutuhan hidup, kedudukan bambu sendiri dalam kehidupan masyarakat erat dengan mitos kesederhanaan, kemurnian, dan kesuburan.

Orang Vietnam memiliki kepercayaan, bahwa bambu adalah saudara mereka. Di Burma, terdapat kisah legenda seorang gadis kecil yang berasal dari tangkai bambu, lalu ia tumbuh dewasa menjadi seorang perawan cantik. Mitos bambu juga hidup di Filipina, kisah tentang asal-usul penciptaan laki-laki dan wanita pertama di dunia, Sikalak dan Sikabay. Mereka lahir dari batang bambu yang ditanam di taman surga oleh Dewa Kaptan. Mereka ditanam untuk merawat taman surga tersebut. Namun, mereka jatuh cinta selagi Dewa Kaptan pergi melakukan perjalanan. Sikabay, si wanita, khawatir mereka tidak dapat menikah karena ikatan saudara; akhirnya mereka pun meminta saran pada ikan tuna, burung merpati, dan bumi. Penyaran terakhir mengatakan bahwa “dunia haruslah dihuni manusia,” maka mewujudlah mereka menjadi manusia, dan akhirnya mereka pun menikah, hatta menetap di bumi (Piper, 1992: 62-64).

Legenda-legenda yang mengaitkan sosok wanita dalam mitos bambu, serupa dengan kisah dalam kepercayaan Hindu, tentang pernikahan seorang wanita dari kasta bangsawan bernama Murala dengan seorang pria yang berkasta lebih rendah dari dirinya. Merasa tertipu dan kecewa dengan ketidaksetaraan kasta tersebut, Murala lalu memanjatkan doa kepada Dewa Wishnu. Setelah mendapatkan jawaban atas doanya itu, Murala mendaki tumpukan kayu bakar, lalu membakar dirinya. Bambu pertama dimitoskan tumbuh dari tebaran abu kremasi Murala itu.
Mengapa dalam mitos bambu sosok wanita banyak dikaitkan di dalamnya? Hal paling mendasar menyangkut ini adalah hubungan wanita dengan mitos kesuburan. Mitos ini banyak didapati dalam kebudayaan agraris di Asia Tenggara. Sebagai wujud pemujaan terhadap wanita sebagai simbol kesuburan itu, maka bambu menjadi penandanya.

Dalam kebudayaan Sunda yang berbudaya agraris dengan sumber pangan pokok padi (pare), hubungan bambu dengan mitos kesuburan itu pun hidup. Di daerah-daerah yang warganya bertani, lahan-lahan pertanian ada yang disisihkan sebagian untuk ditanam bambu. Mitos terhadap Nyai Pohaci sebagai lambang dewi padi, hidup di tengah-tengah masyarakat adat Sunda.

Untuk menolak bala (nyinglar) hama dalam kegiatan mengolah lahan pertanian di sawah dan huma, orang Sunda lama mencipta syair dan lagu sebagai persembahan terhadap Nyai Pohaci. Syair-syair itu dalam perkembangannya disertai tumbukan bunyi antarbatang bambu yang dibuat untuk Nyai Pohaci, sebagai perlambang dewi kesuburan. Tumbukan bunyi antarbatang bambu itu dilakukan sebagai ritus panen padi di huma (ladang) sebagaimana dilakukan di masyarakat adat Kanekes, Baduy (Admadibrata dkk, 2006: 4). Dalam tradisi macam demikian, alat musik bernama angklung kerap diasosiasikan untuk digunakan dalam ritual panen beras (Piper, 1989: 68). Misalnya di Banten Selatan, orang-orang Baduy memiliki kebiasaan menggoyangkan tiga atau empat angklung ketika menyelesaikan pekerjaan huma sérang, seperti menyucikan lahan yang dapat ditanami pada saat festival kawalu (Kunst, 1973: 363).
Orang-orang di pulau Jawa mengatakan bahwa ide lahirnya alat musik bambu pertama seperti angklung, terjadi secara kebetulan ketika udara/angin masuk ke dalam sebuah tabung bambu; merujuk pada pernyataan Thomas Stamford Raffles (1817: 528): “The Javans say the first music of which they have an idea was produced by the accidental admission of the air into a bamboo tube, which was left hanging on a tree…”. Senada dengan Raffles, John Crawfurd (1820: 333-334) yang mengatakan bahwa angklung adalah alat musik yang dihasilkan dari dorongan angin paling pertama yang terdapat di wilayah pegunungan Jawa, khususnya didapati di barat pulau Jawa. Angklung dikatakan McPhee (1937: 322) –dengan mendukung pernyataan Raffles (1817: 528)– merupakan penyempurnaan dari alat musik Æolia.

Sebagaimana dinyatakan para pengamat pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, tersebut, seperti halnya di Jawa, angin di Asia Tenggara pada umumnya memang memberikan inspirasi untuk merancang bambu dapat dimainkan sebagai alat musik. Beberapa pelancong Eropa pada abad ke-19 menerangkan bunyi-bunyian dalam batang bambu yang mereka dengar begitu halus, selain itu terdengar begitu dalam seperti suara organ setelah batang-batang bambu itu dilubangi celahnya dan kemudian digabungkan; dari tiap-tiap batang bambu yang dimainkan itu, dihasikan 14 hingga 20 irama. Bambu-bambu yang dilubangi –dan kemudian dikenal orang Eropa sebagai angklung itu– suatu ketika pernah dimainkan secara resmi di istana Gubernur Jendral di tengah Kebun Raya Bogor (Piper, 1989: 68).

Beberapa kelompok angklung itu dibuat berdasarkan bentuk batang yang dapat menghasilkan resonansi suara yang bagus. Instrumen itu dipukul/dikocok. Taylor (1989: 38) menjelaskan bahwa suara yang dihasilkan bergantung, baik karena diameter batang bambu yang digunakan dan ketebalannya maupun panjang tabung udara yang melingkunginya. Tabung bambu itu umumnya terdiri dari dua atau tiga yang dikerangkai kayu, sehingga dapat digoyang/dikocok dengan tangan dan menghasilkan sejenis derikan. Setiap angklung hanya menghasilkan satu nada dasar, dengan irama berbeda antartabungnya dan setiap pemain memainkan sebuah atau dua instrumen (satu di masing-masing tangan). Sebuah orkestra dengan instrumen angklung yang berbeda dapat menghasilkan kompleksitas musikal menggunakan peniruan simfoni bunyi Barat.

Apabila merujuk pada gambaran angklung di Hindia (baca: Indonesia masa kolonial), sebagai salah satu pembanding, mestilah disimak juga sebuah laporan seorang Inggris bernama Henry Yule yang melancong di Burma pada medio abad ke-19. Yule (1858: 37) mengamati sebuah orkes musik di Burma, yang memainkan beberapa anak genta/lonceng dari batang bambu terpisah dan menghasilkan suara begitu baik. Perkusi bambu ini dikatakan Piper (1989: 68) agak mirip dengan harpa yahudi (jews harp).

Maka itu, alat musik bambu di Asia Tenggara sebenarnya boleh dikatakan memiliki kesamaan ciri dan bentuk. Angklung –selain sekian jenis alat musik bambu seperti calung, suling, celempong– boleh dibilang memiliki kedekatan dengan jenis-jenis yang ada di wilayah lainnya –bahkan di Malaysia dan Thailand. Meski begitu, sebutan angklung sendiri berdasarkan sumber-sumber tertulis pada masa abad ke-19, begitu lekat pencitraannya sebagai kebudayaan orang Sunda.

Walaupun dikatakan lekat, J. Kunst (1971: 361) justru mengatakan bahwa instrumen angklung pada perkembangannya tersebar di seluruh wilayah Jawa, Madura dan Bali, juga sebagian Sumatra dan Kalimantan . Meski angklung secara umum pada mulanya –sebagaimana dikatakan Raffles dan Crawfurd– terdapat di wilayah-wilayah pegunungan Sunda, namun berdasarkan alasan tersebarnya angklung di wilayah lainnya, Kunst mengatakan tidak tepat secara tipikal untuk menyebutnya sebagai instrumen musik Sunda. Sebab, alasannya, angklung dilaporkan juga ada di Banyumas, Cirebon, Brebes, Purbalingga, Trenggalek, Tulungagung, Mojokerto, Sidoarjo, Gresik, Surabaya, dan Purbalingga. Secara sporadik, angklung telah menyebar luas di pulau Jawa.

Melacak Jejak Angklung
Meski lekat pencitraannya dengan kebudayaan Sunda, keterangan seputar asal-usul alat musik angklung di Jawa Barat sebelum abad ke-19 tidaklah begitu jelas. Dari segi bahasa, kata angklung menurut ahli karawitan Bali, I Wayan Rembauh (dalam Sopandi dkk, 1987: 64) berasal dari kata ‘angka’ yang berarti nada, dan ‘lung’ yang maksudnya ‘patah’ atau ‘hilang’. Maksud dari gabungan dua kata ini adalah “ada nada yang hilang.” Nada-nada pada angklung di Baduy yang terdiri dari empat rumpung (bilah [kingking, panempas, jongjrong, dan gonggong]) membuktikan makna tersebut . Versi lainnya menyebutkan asal kata angklung adalah angkleung, sebutan terhadap “suatu benda yang terapung-apung di atas air”. Ini adalah kias untuk memaknai gerakan-gerakan angklung yang sedang dibunyikan ibarat terapung-apung di atas air. Gerak-gerak angklung yang dibawa para pemain dalam upacara helaran (pawai) seperti “angkleung-angkleungan” (terapung-apung).

Jika itu menyoal ketidakpastian etimologi, maka dalam hal riwayatnya, etno-musikolog, J. Kunst (1936: 814) dalam penelitiannya berasumsi bahwa alat musik dari bambu –secara umum– yang ada di Indonesia berasal dari masa pra-Hindu. Kemungkinan permulaannya erat terkait dengan masa sebelum Masehi ketika terjadi migrasi manusia dari daratan Asia yang kemudian menjadi nenek moyang suku bangsa Melayu-Polinesia.

Terkait migrasi manusia tersebut, dalam ranah arkeologi, beberapa di antaranya memberikan informasi penting, bahwa temuan di Indonesia memiliki keserupaan dengan kebudayaan Dongson purba (Vietnam). Seperti halnya temuan prasejarah di wilayah Banten, Bogor, Cianjur, dan Cirebon ca. 300 SM. Di samping ditemukan peralatan musik berupa gendang belangga (kettle drums) serta alat musik dari kerang dan tanduk, agaknya tanaman bambu yang tumbuh liar dimanfaatkan juga sebagai material alat musik (Kartomi, 1985: 6).

Kunst (dalam van Zanten, 1989: 81) membahas perkembangan alat musik pada masa Hindu yang tampak dalam relief candi di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kecuali kacapi, suling, dan rebab, dari keseluruhan gambaran yang ada dalam relief tersebut, begitu sedikit diketahui adanya yang menurunkan alat musik di Jawa Barat pada masa kemudian, terlebih tidak ada sama sekali jejak angklung.

Terkait hal tersebut, ada hal menarik ketika membaca sebuah hasil penelitian Roosenani Kusumastuti (1981), Alat Musik pada Relief Candi Borobudur, dengan fokus risetnya yang banyak terfokus pada lapisan kaki candi (Karmawibhangga). Lapisan tersebut memuat 160 relief, di antaranya alat-alat musik. Namun, dalam pengamatannya tidak ada banyak petunjuk mengenai angklung, alat musik bambu yang terpindai hanyalah suling dan gambang. Tulisan Jaap Kunst, Over Toonschalen en Instrumenten van West-Java (1923: 28) yang juga dipakai dalam riset Kusumastuti tersebut pun memang menunjukkan demikian, bahwa dalam salah satu satu relief candi terdapat gambaran fisik berupa alat musik hibrid dari bambu dan kayu yang disebutnya “tjaloeng-gambang”.

Apabila itu dalam gambaran relief, terdapat juga informasi seputar keberadaan angklung dalam naskah-naskah masa Hindu yang meski tidak begitu banyak, namun menunjukkan kejelasan keberadaan dan fungsinya pada masa Hindu. Dalam De Gamelan te Jogjakarta, J. Groneman (dalam Wiramiharja, 1989) mengatakan bahwa angklung telah ada pada masa kebudayaan Hindu bekembang di Nusantara. Bukti paling tua, merujuk pada riset Pieter Eduard Johannes Ferdinandus (1999: 314), terdapat dalam Prasasti Bebetin berangka tahun 818 Saka (896 M) yang menyebutkan bahwa pembayaran pajak bangunan suci salah satunya dikenakan terhadap pabunjing (pemain angklung bambu). Keterangan lainnya terdapat dalam Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie (ENI, 1921: 25, jilid 3) dengan entri Soendanezen, Oerang Soenda, Orang Soenda of Orang Goenoeng, dikatakan bahwa angklung adalah alat musik yang ada dan digunakan di kerajaan Hindu Pajajaran. Dalam entri Muziek en Muziekinstrumenten (ENI, 1918: 821) dikatakan angklung sebagai penyemangat dalam “barisan Padjadjaran” (sic.) dan pada tahun berangka 1486 Sangkálá, diberitakan angkloeng (sic.) dipakai sebagai pengiring wajang-běběr gědog. Selain itu, dalam Serat Cebolang, kata angklung pun disinggung sebagai instrumen, ketika Mas Cebolang mempertunjukkan keahliannya menyanyi dan bermain musik di depan Bupati Dhaha, Kediri (Wiramiharja, 1989).

Informasi-informasi tersebut jika ditarik sebuah benang merah mencitrakan fungsi angklung, di samping sebagai alat musik ritual dalam tradisi ladang, dalam riwayat awalnya digunakan untuk memompa semangat pasukan militer kerajaan Pajajaran; dan sebagai pengiring sebuah perhélatan kesenian. Adapun seperti apa wujud dan keterangan permainan angklung itu sendiri tidak ditemukan kejelasan yang memuaskan.

Entah apa yang melandasi ketidakjelasan jejak angklung ini. Namun ada hal yang menarik jika mengaitkannya dengan larangan atau tabu untuk memainkan dalam kepercayaan/mitos masyarakat Sunda. Salah satu buktinya adalah laporan Baron van Hoevell (1845: 420-21), ketika dirinya menceritakan mitos yang berkembang di Priangan hingga abad ke-19, tentang barangsiapa pemain angklung yang melanggar tabu, kelak saat mati ia akan berubah menjadi seekor kadal besar. Hoevell menuturkan sisindiran yang berbunyi: “kaduhung jadi pangangklung//ari paeh jadi bayawak” (kepalang menjadi pemain angklung, (karena) jika mati kelak mati menjadi kadal). Sisindiran menjadi hewan ini semacam kiasan betapa jeleknya citra sebagai pemain angklung. Orang-orang di Gunung Padang, Cianjur, mempercayai mitos bahwa jika ingin menjual jiwa dengan jalan sebagai pemain alat musik ini, ada dua pilihan untuk: mati wajar sebagai manusia dan/atau mati tidak wajar menjadi (seperti) hewan.

Selebihnya hingga setelah masa Hindu, disebutkan keterangan dalam ENI (1918: 821), bahwa alat musik bernama angklung itu tidak diketahui hingga masa abad ke-18 dan –terutama– abad ke-19 ketika dikenalnya alat musik pukul bernama angklung. Di beberapa wilayah di Pulau Jawa istilah angklung dipakai, namun wujud dan teknik permainannya amat berbeda. Di Jawa Timur, istilah angklung berarti merujuk pada gamelan berupa bonang dan sarong. Namun di Jawa Barat, terutama di Banten dan Priangan, angklung merupakan instrumen bambu yang dikocok/digoyang.

Meski beberapa instrumen yang ada di tengah dan timur pulau Jawa ada yang memberikan pengaruh bagi instrumen musik di Jawa Barat –atau sebaliknya, karakternya dikatakan Kunst (1973: 286):

“The Sundanese racial character is less complex, less stylized, more open and a little more rustic than the Javanese. In accordance with this, music in the Sunda districts is, generally speaking, simpler of construction, and the orchestras are less comprehensive”

Alasan tidak banyaknya pengaruh seni musik Jawa di Tatar Sunda, tampaknya dilandasi tidak berhasilnya pengaruh budaya keraton masuk ke wilayah kerajaan Taruma, Galuh, hingga masa Pajajaran. Dengan demikian, seni musik Jawa tidak populer di Tatar Sunda. Karakter yang dikatakan Kunst kurang menyesuaikan mode, lebih terbuka dan agak “dusun” daripada alat musik Jawa, justru menunjukkan kemiripannya dengan (alat) musik Bali. Dalam Angkloeng Gamelans in Bali, Colin McPhee (1937: 322) dengan merujuk Raffles (1817: 528) mengatakan ada kesamaan bentuk angklung di wilayah Sunda dengan yang ada di Bali. Namun, bagaimana kesamaan atau hubungan kultural ini bisa terjadi, masih menjadi tanda tanya.

Evolusi Angklung
“…wier krijgsmuziek die van de angkloeng was,
gevaarlijk werd geacht voor een rustig bestuur
en anleiding was”
(ENI, 1918: 821)

Jika meréka kembali laporan van Hoëvell, ada yang menarik sekaligus menggelitik nalar apabila mengaitkannya dengan fungsi angklung itu sendiri sebagai penyemangat perang sejak masa kerajaan Hindu-Pajajaran, bagi mereka “barisan Pajajaran”. Namun, pada masa kolonial, di Jawa, angklung dilarang dimainkan. Alasannya untuk meredam ancaman pemberontakan (Piper, 1989: 68). Sehingga dikatakan dalam kutipan di atas, angklung mengganggu keamanan dan ketertiban pemerintahan Hindia Belanda.

Barangkali, sisindiran yang dikatakan van Hoëvell, sebentuk konstruksi yang dilestarikan pemerintah untuk menabukan angklung agar tidak dimainkan dalam ruang-ruang sosial. Dalam majalah Indie (1917: 330), angklung di Priangan, bahkan dikatakan: "En qeen wonder: de angkloeng is militaire muziek" (dan tidak mengherankan: angklung memang musik militer). Senada dengan itu, dalam majalah majalah D’Orient (1938) dikatakan: over het algemeen draagt angkloeng muziek een opwekkend en vroolijk karakter, maar het heeft ook zijn krijgslystige en mystiekezijde (pada umumnya musik Angklung menggairahkan dan menggembirakan, tetapi juga dapat menimbulkan semangat perjuangan dan mistik).

Menjadi jelas keterangan-keterangan berdasarkan pengamatan tersebut. Dan, jika merujuk pada penilaian tersebut tidaklah heran jika pada medio pertama abad ke-19 ketika masa Cultuurstelsel (tanampaksa), pemerintah Hindia Belanda melarang permainan angklung. Alasannya, permainan angklung berpengaruh terhadap semangat perlawanan rakyat terhadap kekuasaan pemerintah jajahan. Namun, dalam larangan itu permainan angklung dikecualikan bagi anak-anak dan pengemis/pengamen, dengan alasan –barangkali– dianggap tidak menimbulkan keresahan dan tidak membahayakan bagi ketentraman pemerintahan jajahan Belanda. Sejak itulah Angklung turun derajatnya dari alat musik militer dan alat musik upacara yang sakral menjadi alat musik yang biasa digunakan pengemis untuk mencari nafkah sepanjang jalan alias mengamen (Wiramiharja, 1989).

Kondisi ini hingga akhir abad ke-19, memendam jejak angklung tradisi ditambah kondisi kepercayaan masyarakat lokal. Salah satu contohnya, berdasarkan laporan Royal Batavia Society (1893) mengenai kondisi Banten pada 1875, di antaranya disinggung perihal begitu memprihatinkannya perhatian atas alat musik bambu. Pada 1875 dilaporkan berdirinya sebuah “Komedie Jawa” (kelompok sandiwara) yang didirikan Bupati Serang, Raden Adipati Sutadiningrat. Sandiwara yang ditampilkan seperti kisah 1001 Malam dan Abu Nawas diiringi alat musik Jawa, gamelan. Pada 1878, van Gorkom, seorang kepala inspektur, ketika melakukan perjalanan di Banten menyampaikan informasi tambahan, bahwa gamelan sebagai iringan sandiwara itu pun hanya dimainkan selain hari Jum’at, dan ditabukan untuk dimainkan ketika Kamis sore hingga Jum’at sore; sejak 1-15 Mulud; dan selama bulan puasa (Ramadhan).
Dimaksudkan untuk tidak melanggar norma tersebut, dengan alasan sebagai pengisi waktu luang orang-orang di Banten Selatan, maka Bupati Banten mengganti gamelan dengan instrumen berupa calung, beberapa angklung, sebuah suling, dan sebuah bedug untuk kemudian dimasukkan dalam komedi tersebut menggantikan gamelan. Penggantian instrumen-instrumen itu dilandasi larangan pada waktu-waktu tertentu memainkan dan mendengarkan gamelan bagi orang-orang Islam di Desa Cimanuk, Desa Kasuniaten, dan Kampung Kupluk di Menes yang membenci musik gamelan (Kunst, 1973: 289-290).

Sejak akhir abad ke-19, mulailah muncul transisi sifat dan fungsi angklung dari mulanya sebagai tradisi (sakral dan militer) menjadi alat musik pertunjukan rakyat, seperti reog atau ogel. Awal abad ke-20, kesadaran berkesenian bermunculan. Dalam De Inheemse Muziek en de Zending (1947: 25-26), J. Kunst menyinggung sosok Radén Machjar Angga Koesoemadinata, seorang guru di Sumedang yang mengembangkan (alat) musik rakyat yang disesuaikan dengan nada-nada Barat, seperti dipakai untuk mengiringi kegiatan-kegiatan zending.

Koesoemadinata-lah yang mengatakan bahwa: “huruf musik ‘da mi na ti la’ itu kami tjiptakan dahulu pada th. 1923…” sebagai ketidakcocokannya menilai perangkat nada Eropa “do re mi fa so la ti” untuk digunakan dalam perangkat nada alat musik Indonesia (Kusumadinata, 1951: 27 – 29). Dalam sembilan tahun (1933 – 1942) dikatakan Koesoemadinata (1951: 29) bahwa bahwa da mi na ti la ini telah tersebar di Jawa Barat. Mudahnya penyebarannya ini dikatakan karena mudah dipelajari guru-guru untuk kemudian diajarkan ke anak-anak didiknya.

Pada 8 Desember 1951, satu rombongan anak-anak sekolah yang dinamakan “Angklung Asli” dari Bandung mendapat undangan untuk melakukan pementasan di Jakarta. A. Suparman yang membuat laporan pementasan rombongan ini mengatakan tentang orkestra angklung yang memukau audiensi: “untuk melatihnja sebagaimana Angklung Modern setjara Barat, memakai not hanja jang dipakainja jaitu sistim da mi na ti la tjiptaan Pak R.M.A. Kusumadinata dengan memakai laras Pelog dan Salendro…” (Budaja, No. 25 1951: 44).

Nama Koesoemadinata pada medio pertama abad ke-20 memang dikenal sebagai penggagas teknik penyesuaian nada ciptaannya –yang dikatakannya asli Indonesia ini– untuk perangkat musik tradisional seperti angklung. Namun, selain dan semasa era Koesoemadinata, pada masa menjelang Pendudukan Jepang, angklung juga sebenarnya mengalami perkembangan penting di tangan seorang guru di Kuningan, Daeng Sutigna. Sejak 1938 Daeng Sutigna mengadakan serangkaian eksperimentasi agar angklung dikembangkan untuk dikenal di kalangan masyarakat. Untuk mempopulerkannya, tangga nada angklung diubah dari pentatonis menjadi diatonis (Wiramiharja, 1989). Tampaknya popularitas Daeng Soetigna mengemuka ketika kreasi angklungnya dimainkan pada saat Perjanjian Linggajati (1948) dan puncaknya saat Konferensi Asia Afrika (1955). Pada dasawarsa 1970-an, apresiasi terhadap angklung tidak terbatas di Indonesia, melainkan melintasi juga ke negara jiran. Ratusan set angklung saat itu mulai diekspor ke Malaysia setiap tahunnya (Sumarsono & Pirous, 2007; Wiramiharja, 1989). Maka, tidak heran, jika saat ini di dalam negeri hingga mancanegara, angklung kini (seolah) dikenal sebagai sebuah budaya komunal; terlebih sarana teknologi informasi dan komunikasi saat ini memungkinkan munculnya fenomena diaspora kebudayaan.

Penutup
Sejak lampau hingga masa kini, angklung mengalami masa transisi yang menarik: bermula dari sifat dan fungsinya sebagai alat musik tradisi menjadi instrumen pertunjukkan yang umumnya dikenal sekarang. Pada akhirnya, dikenal sebagai sebuah ikon budaya yang dikatakan khas Sunda atau malah ada hasrat mematenkannya sebagai milik bangsa Indonesia, mengingat konfrontasi dan klaim budaya yang terjadi beberapa tahun belakangan ini.
Tentu saja, dalam percaturan global, kebudayaan lokal semacam angklung berpotensi mengalami diaspora, mengingat juga latar belakang universalitas budaya bambu yang memungkinkan terjadinya penyesuaian budaya, seperti halnya terjadi di masa silam. Glokalisasi (glocalisation, sebuah hibridasi global dan lokal) adalah sebuah fenomena kebudayaan yang saat ini kita hadapi; dikonsepsikan Keith Hampton dan Barry Wellman (2002) sebagai jaringan aktivitas manusia dalam batas lokal dan global. Tentu saja, dengan contoh kasus angklung sebagai salah satu saja dari sekian budaya lokal lainnya, diperlukan suatu strategi kebudayaan yang lebih berwibawa untuk menampilkan identitas kebudayaan lokal (baca: Sunda) di tengah-tengah kumparan global. Bukan sekedar aksi-aksi klaim, tentunya.


DAFTAR PUSTAKA

Atmadibrata, Enoch dkk. 2006. Khazanah Seni Pertunjukkan Jawa Barat. Bandung: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat.

Crawfurd, John. 1820. Indian Archipelago; Containing an Account of the Manners, Arts, Language, Religions, Institutions, and Commerce of its Inhabitants (vol. 1). Edinburgh: Archibald Constable.

Encyclopædie van Nederlandsch-Indië (ENI). 1917, 1918, & 1921. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.

Ferdinandus, Pieter Eduard Johannes. 1999. Alat-Alat Musik Jawa Kuno (Abad IX – XV Masehi): sebuah Kajian Mengenai Bentuk dan Fungsi Ansambel, Disertasi. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Frame, Edward M. 1982. “The Musical Instruments of Sabah, Malaysia” dalam Ethnomusicology, XXVI/2, May 1982.

Goldsworthy, David, Catherine Falk, & Bronia Kornhauser. 1978. Studies in Indonesian Music. Monash: Centre of Southeast Asia Studies Monash University.

Hampton, Keith & B Wellman. 2002. "The Not So Global Village of Netville." (h. 345-371) dalam The Internet in Everyday Life (Barry Wellman & Caroline Haythornthwaite [eds.). Oxford: Blackwell.

Kartomi, Margaret J. 1985. Musical Instruments of Indonesia; An Introductory Handbook Indonesian Arts Society. Melbourne.

Kunst, J & R. Gorris. Hindoe-Javaansche Muziek-Instrumenten Speciaal die van Oost-Java. Weltevreden: G. Kolff.

Kunst, J. & R.T.A. Wiranatakosoema. 1921. “Een en Ander Over Soendaneesche Muziek” dalam Djawa, 1 blz, hal. 235-252.

Kunst, J. & C.J.A. Kunst van Wely. 1923. “Over Toonschalen en Muziekinstrumen van West Jawa” dalam Djawa, III blz, hal. 26 – 40.

Kunst, J. 1936. “Musicological Exploration in the Indian Archipelago” dalam Asiatic Review No.3, October, 1936.

_______.1947. De Inheemse Muziek en de Zending. Amsterdam: Uitgeverij H.J. Paris.

_______. 1955. Ethno-musicology; A Study of its Nature, its Problem, Methods, and Representative Personalities to which is added a Bibliography. The Hague: Martinus Nijhoff.

_______. 1973. Music in Java; its History, its Theory and its Technique (vol. I & II). The Hague: Martinus Nijhoff.

Kusumadinata, R.M. 1951. “Dapatkah DA-MI-NA-TI-LA digantikan oleh DO-RE-MI-FA-SO-LA-TI atau C-D-E-F-G-A-B?” dalam Budaja, No. 28, 1951.

Kusumastuti, Roosenani. 1981. Alat Musik pada Relief Candi Borobudur. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

McPhee, Colin. 1937. “Angkloeng Gamelan in Bali” dalam Djawa, 17 Jrg no. 17. 1937, hal. 322-350.

Nieuwenhuis, A.W. 1929. “De Onrust in Indië en Hare Oorzaken” dalam Tropisch Nederland, No. 26 – 19 April 1929.

Piper, Jacqueline M. 1992. Bamboo and Rattan; Traditional and Beliefs. Singapore: Oxford University Press.

Raffles, Thomas Stamford. 1817. The History of Java vol. I. London: John Murray.
Sumarsono, Tatang dan Erna Garnasih Pirous (et.al.) 2007. Membela Kehormatan Angklung; Sebuah Biografi dan Bunga Rampai Daeng Soetigna. Bandung: Serambi Pirous.

Sutrisna, Deni. 2009. “Angklung, Perkembangannya dari Masa ke Masa” dalam Jurnal Berkala Arkeologi Sangkhakala vol. XII, No. 23, Juli 2009, Medan: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Balai Arkeologi Medan.

Taylor, Eric. 1989. Musical Instruments of South-East Asia. Singapore: Oxford University Press.

Van Zanten, Wim. 1989. Sundanese Music in the Cianjuran Style; Anthropological and Musicological Aspects of Tembang Sunda. Dordrecht: Foris.

Wiramiharja, Obby A.R. 1989. “Angklung Padaeng”, Makalah pada Seminar Nasional Angklung, ITB, 26 Oktober 1989.

Yule, Henry. 1968. A Narrative of the Mission to the Court of Ava in 1855. Kualalumpur: Oxford University Press.

Budaja, No. 25, 1951
D’Orient, No.52, 24 Desember, 1938
Indie, No 21, 22 Agustus 1917

http://en.wikipedia.org/wiki/Aeolian_harp.